Naik, naik ke puncak gunung
Tinggi, tinggi sekali….
Ingat lagu jaman TK atau SD itu, aku jadi ingat aksi
iseng naik ke gunung-gunung di sekitar Salatiga. Seingatku, terakhir kali bertengger di puncak
gunung bersama teman-teman kampus ya… sekitar 27 tahun yang lalu. Ada rasa kangen (tapi sama sekali bukan ke
Kangen Band) untuk nengok gunung lagi, ketika memandang pucuk Merbabu, Telomoyo,
Ungaran, Sumbing, Sindoro. Tapi sekarang
mana sempat? Atau mana kuat (ha haa..).
Sekali waktu hasrat keisengan itu menemukan moment
yang pas. Hari ke-4 dari liburan Lebaran
2014 aku lagi idle. Sementara banyak rombongan keluarga
mengimplementasikan proyek Lebaran dengan kegiatan berkunjung ke kerabat, mudik
ndeso, atau berduyun-duyun,
berkerumun, bertubi-tubi ke bonbin, pantai, taman rekreasi atau pusat piknik
lain, aku punya ide beda. Aku menggagas napak
tilas ke puncak Gunung Telomoyo sendirian.
Tapi kali ini aku tak berniat jalan kaki seperti pasukan infantri. Aku naik motor saja, namanya si Vegie. Bukan karena tak kuat jalan, tapi demi
kecepatan mobilitas (nggaya kali, ha
haa…).
Pagi jam 6:30, aku meluncurkan Vegie ke arah
Getasan. Sampai di pertigaan letter Y di
Salaran, aku ambil jalur ke kanan. Dari
jalur Salaran – Pandean itu, Telomoyo tampak sangat jelas-gamblang-cethar
membahana. Sengaja aku melaju di pagi
hari dengan pertimbangan: (1) Cuaca masih jernih dan cerah, so pemandangannya
lebih bagus. Kalau sudah siang, lereng
dan puncak gunung sering tertutup kabut, walau di musim kemarau. (2) Penjaga pos karcis di Dukuh Dalangan
(pangkal jalan naik ke Telomoyo) belum menampakkan sosoknya. Jadi aku lewat dengan gratis ha haa…
si Vegi siap nanjak ke Telomoyo |
Lolos dari Dukuh Dalangan jalan mulai menanjak. Aku kira aspalnya masih semanis dulu,
ternyata itu cuma di bagian bawah. Makin
menanjak ke atas, makin hancur lebur tiada ampun.
Tampilan G. Merbabu |
Berhenti sebentar di tepi tanjakan moderat, mengintip
Gunung Merbabu dulu lah.
Di setengah perjalanan, berhenti lagi untuk menengok
kejauhan. Di antara pohon-pohon pinus
yang tidak lagi gondrong, tampak si gunung kembar Sumbing dan Sindoro.
G.Andong |
Menjelang sampai puncak Telomoyo, tampak Andong si
gunung tetangga sebelah yang lebih kecil.
Gunung Merbabu tampil lagi di sini, terekam ketika si
Vegie rehat sebentar setelah melintas tanjakan + tikungan ekstrim tajam
menjelang sampai puncak. “Penderitaan”
si Vegie bertambah dengan kondisi jalan yang babak belur dan longsor di satu
bagian lereng Telomoyo.
Puncak Telomoyo penuh tower |
Sampailah aku di pucuk Gunung Telomoyo, yang banyak
ditumbuhi tower pemancar/ relay/ BTR atau apapun nama teknisnya. Dulu hanya Telkom dan PLN yang menanam tower
di sini. Belakangan Perhutani,
Telkomsel, TA Tv dan Pemprov Jateng ikut nimbrung memasang stasiun relay pemancar.
Setelah memarkir Vegie di ujung jalan aspal dekat
pagar instalasi Telkom, aku memantau pemandangan sekeliling.
Tampak di bawah sana; bukit-bukit hijau, desa-desa
yang damai berlatar belakang awan putih membentang di atas wilayah Kecamatan
Grabag.
Desa Pagergedok dari puncak Telomoyo |
Desa Pagergedok tampaknya adalah desa yang letaknya
tertinggi di lereng Gunung Telomoyo.
Puncak G. Sumbing & Sindoro di kejauhan |
Puncak Gunung Sumbing dan Sindoro dengan lereng yang
diselimuti kabut dan latar depan deretan awan putih. Serasa negeri di atas awan…
Rawapening di latar belakang berkabut, tampak
sayup-sayup (dan mendayu-ndayu…ha haa..)
Siap take off dari sini? |
Dari geladak tempat peluncuran gantole, pemandangan
perbukitan, jurang dan lembah di bawah sana memang lumayan spektakuler,
menantang nyali sekaligus bernuansa misteri, hiii……
Sudah puas duduk sendirian sambil memandang panorama
khidmat di sekeliling Gunung Telomoyo, aku menggelindingkan Vegie menuruni
jalan aspal super amburadul kembali ke arah Dalangan. Ya memang jalannya cuma
satu itu. Sempat berhenti sebentar di
dekat lereng berbatu yang sering dipakai nongkrong rombongan pengunjung
Telomoyo. Sayang, adegan lereng berbatu
itu lagi kering. Kalau musim hujan,
biasanya ada aliran air menimpa bebatuan dan mencipta tampilan air terjun kecil
di situ.
Begitulah
cerita hari itu, tentang sesaat napak tilas (atau bernostalgia) sendiri ke
puncak Gunung Telomoyo. Masih seperti
dulu, pemandangan dan atmosfir sejuknya tetap terasa damai di hati. Yang berubah dan membuat trenyuh adalah: (1)
Jalan aspal yang makin hancur tak terawatt. (2) Hutan pinus yang tampaknya
makin pitak, tidak lagi segondrong seperti dulu. (3) Sampah plastik non-degradable yang dibuang sembarangan oleh gerombolan
pengunjung yang badannya sok modern tapi pikirannya masih primitif.
Nostalgia di Telomoyo |
2 comments:
Gunung Telomoyo juga sering banget buat gantolle yaa?? aduh kapan ya bisa nyoba olahraga ekstrim kaya gitu
Iya tuu masih sering dipake nggantoll, kelihatannya hampir tiap tahun ada acara nggantol atau paralayang di situ...
Post a Comment