Sunday, October 26, 2014

CARA MENGGAMBAR POHON KELAPA







Menggambar pohon
kelapa itu mudah.  Kebanyakan anak SD pun
bisa memproduksinya, misalnya ketika menampilkan pemandangan pantai.  Tipikal pantai adalah lanskap area air dengan
perahu dan ikan, berbatas daratan berpohon kelapa. Lha ini, pohon kelapanya tampil
dengan batang bergaris-garis, besar di bagian bawah dan mengerucut di bagian
atas, dengan pelepah daun menyebar seperti kipas dan beberapa buah kelapa yang
berkumpul di tengah.





Gambar itu tidak
salah. Memang itu berguna untuk mengungkap pemahaman sederhana; seperti apa
sosok pohon kelapa.  Tetapi kalau dari
level SD sampai dewasa hanya tahu dan bisa membuat gambar pohon kelapa semacam
itu, berarti tidak ada perkembangan dan peningkatan.  Jadi, kebanyakan hanya mencapai status
medioker dan stagnan, tidak beranjak dari situ saja.  Padahal membuat gambar pohon kelapa yang
lebih elegan tidak sulit.  Ini bukan
perkara bakat, asal tahu tekniknya.  Ayo
kita pantau prosedur menggambar pohon kelapa tahap demi tahap.  Cekidot
…..



Pertama, buat
dua garis (hampir) sejajar, dari bawah ke atas.
Ingat, dari bawah ke atas, sesuai kondisi alami bagaimana pohon tumbuh
dari bawah ke atas.  Kemudian di ujung
atas kedua garis itu, buatlah garis-garis (tidak selalu lurus) yang memancar ke
luar.  Ini untuk berfungsi sebagai batang
pelepah, sebelum kita menggambar daun kelapa.



 Berikutnya, dari
tiap batang pelepah, buatlah garis-garis sebagai daun kelapa.  Garis-garis itu tidak selalu lurus dan sama
panjang, tapi jangan pula dibuat terlalu pendek.  Ingat, arah arsiran garis daun adalah dari
tengah batang pelepah ke arah luar, dengan kecenderungan ke bawah (karena
gravitasi bumi), kecuali untuk daun kelapa bagian atas yang baru tumbuh tetap
diarsir mengarah ke atas.  Jangan galau
jika garis-garis daunnya saling berpotongan/ bersinggungan.  Memang begitu alamnya. 



Setelah
garis-garis daun yang melambai sudah dibuat di sekeliling batang pelepah yang
menyebar, tebalkan arsiran bagian-bagian daun yang tidak terkena sinar.  Ini tentu bergantung pada penggambaran arah
datangnya sinar.  Prinsipnya, bagian yang
gelap (teduh) diarsir lagi sehingga tampak lebih gelap daripada bagian yang
terkena sinar.



Kemudian,
buatlah garis-garis pendek datar pada bagian batang pohon.  Garis-garis itu tidak selalu menghubungkan
dua sisi batang kelapa. Lalu sekali lagi, tebalkan arsiran bagian batang yang (dianggap)
tidak terkena sinar, atau bagian yang teduh.



Setelah selesai
dengan pohonnya, tambahkan gambar batu-batuan dan  tanah di bawah pohon kelapa.  Buatlah bayangan di bawah pohon kelapa dengan
mengarsir garis-garis pendek menyatu dengan arah datar sesuai gambaran
permukaan tanah.




Akhirnya,
inilah gambar pohon kelapa yang lebih elegan, gemulai melambai dan realistik,
ketimbang gambar yang biasanya dibuat kebanyakan anak (atau orang) yang
tampilannya seperti karakter film kartun yang begitu-begitu saja.

Sunday, October 19, 2014

SENDIRI KE PUNCAK G. TELOMOYO



Naik, naik ke puncak gunung

Tinggi, tinggi sekali….



Ingat lagu jaman TK atau SD itu, aku jadi ingat aksi iseng naik ke gunung-gunung di sekitar Salatiga.  Seingatku, terakhir kali bertengger di puncak gunung bersama teman-teman kampus ya… sekitar 27 tahun yang lalu.  Ada rasa kangen (tapi sama sekali bukan ke Kangen Band) untuk nengok gunung lagi, ketika memandang pucuk Merbabu, Telomoyo, Ungaran, Sumbing, Sindoro.  Tapi sekarang mana sempat?  Atau mana kuat (ha haa..).


Sekali waktu hasrat keisengan itu menemukan moment yang pas.  Hari ke-4 dari liburan Lebaran 2014 aku lagi idle.  Sementara banyak rombongan keluarga mengimplementasikan proyek Lebaran dengan kegiatan berkunjung ke kerabat, mudik ndeso, atau berduyun-duyun, berkerumun, bertubi-tubi ke bonbin, pantai, taman rekreasi atau pusat piknik lain, aku punya ide beda.  Aku menggagas napak tilas ke puncak Gunung Telomoyo sendirian.  Tapi kali ini aku tak berniat jalan kaki seperti pasukan infantri.  Aku naik motor saja, namanya si Vegie.  Bukan karena tak kuat jalan, tapi demi kecepatan mobilitas (nggaya kali, ha haa…).

Pagi jam 6:30, aku meluncurkan Vegie ke arah Getasan.  Sampai di pertigaan letter Y di Salaran, aku ambil jalur ke kanan.  Dari jalur Salaran – Pandean itu, Telomoyo tampak sangat jelas-gamblang-cethar membahana.  Sengaja aku melaju di pagi hari dengan pertimbangan: (1) Cuaca masih jernih dan cerah, so pemandangannya lebih bagus.  Kalau sudah siang, lereng dan puncak gunung sering tertutup kabut, walau di musim kemarau.  (2) Penjaga pos karcis di Dukuh Dalangan (pangkal jalan naik ke Telomoyo) belum menampakkan sosoknya.  Jadi aku lewat dengan gratis ha haa… 
si Vegi siap nanjak ke Telomoyo

Lolos dari Dukuh Dalangan jalan mulai menanjak.  Aku kira aspalnya masih semanis dulu, ternyata itu cuma di bagian bawah.  Makin menanjak ke atas, makin hancur lebur tiada ampun.
Tampilan G. Merbabu

Berhenti sebentar di tepi tanjakan moderat, mengintip Gunung Merbabu  dulu lah. 


Di setengah perjalanan, berhenti lagi untuk menengok kejauhan.  Di antara pohon-pohon pinus yang tidak lagi gondrong, tampak si gunung kembar Sumbing dan Sindoro.

G.Andong
Menjelang sampai puncak Telomoyo, tampak Andong si gunung tetangga sebelah yang lebih kecil.

Gunung Merbabu tampil lagi di sini, terekam ketika si Vegie rehat sebentar setelah melintas tanjakan + tikungan ekstrim tajam menjelang sampai puncak.  “Penderitaan” si Vegie bertambah dengan kondisi jalan yang babak belur dan longsor di satu bagian lereng Telomoyo. 
Puncak Telomoyo penuh tower

Sampailah aku di pucuk Gunung Telomoyo, yang banyak ditumbuhi tower pemancar/ relay/ BTR atau apapun nama teknisnya.  Dulu hanya Telkom dan PLN yang menanam tower di sini.  Belakangan Perhutani, Telkomsel, TA Tv dan Pemprov  Jateng ikut nimbrung memasang stasiun relay pemancar.


Setelah memarkir Vegie di ujung jalan aspal dekat pagar instalasi Telkom, aku memantau pemandangan sekeliling. 

Tampak di bawah sana; bukit-bukit hijau, desa-desa yang damai berlatar belakang awan putih membentang di atas wilayah Kecamatan Grabag.

Desa Pagergedok dari puncak Telomoyo
Desa Pagergedok tampaknya adalah desa yang letaknya tertinggi di lereng Gunung Telomoyo.

Puncak G. Sumbing & Sindoro di kejauhan
Puncak Gunung Sumbing dan Sindoro dengan lereng yang diselimuti kabut dan latar depan deretan awan putih.  Serasa negeri di atas awan…

Rawapening di latar belakang berkabut, tampak sayup-sayup (dan mendayu-ndayu…ha haa..)

Siap take off dari sini?
Dari geladak tempat peluncuran gantole, pemandangan perbukitan, jurang dan lembah di bawah sana memang lumayan spektakuler, menantang nyali sekaligus bernuansa misteri, hiii……

Sudah puas duduk sendirian sambil memandang panorama khidmat di sekeliling Gunung Telomoyo, aku menggelindingkan Vegie menuruni jalan aspal super amburadul kembali ke arah Dalangan. Ya memang jalannya cuma satu itu.  Sempat berhenti sebentar di dekat lereng berbatu yang sering dipakai nongkrong rombongan pengunjung Telomoyo.  Sayang, adegan lereng berbatu itu lagi kering.  Kalau musim hujan, biasanya ada aliran air menimpa bebatuan dan mencipta tampilan air terjun kecil di situ. 
Nostalgia di Telomoyo
Begitulah cerita hari itu, tentang sesaat napak tilas (atau bernostalgia) sendiri ke puncak Gunung Telomoyo.  Masih seperti dulu, pemandangan dan atmosfir sejuknya tetap terasa damai di hati.  Yang berubah dan membuat trenyuh adalah: (1) Jalan aspal yang makin hancur tak terawatt. (2) Hutan pinus yang tampaknya makin pitak, tidak lagi segondrong seperti dulu. (3) Sampah plastik non-degradable yang dibuang sembarangan oleh gerombolan pengunjung yang badannya sok modern tapi pikirannya masih primitif.

Tuesday, October 14, 2014

CARILAH UNIK SAMPAI KE NEGERI JOGJA



Mencari yang unik sampai ke Jogja?  Eh, nanti dulu.  Ini harus jelas, apanya yang unik.  Karena “unik” itu sendiri merujuk ke specialty, jadi ya biarkan saja kata itu muncul dalam konteksnya sendiri.  Perlu kesepakatan umum atau musyawarah untuk mufakat buat merumuskan “unik”?  Atau voting dulu?  Tak usah.  Unik sendiri artinya “tidak umum”. 
Lha berarti unik itu bisa subyektif, karena unikku belum tentu unikmu.  Yang aku anggap unik belum tentu kau anggap demikian.  Ya begitulah.  So, awal cerita ini hanya “jaga-jaga” kalau kelak kau kecewa (terbawa ekspektasi berlebih) hanya karena mendapat cerita yang (ternyata) kau anggap tidak unik, sementara bagiku ini tiada duanya.  Yeach, let me proceed my story.  Check it out.
(Botol) Limun Sarsaparilla
Hasrat dan kerinduan pada limun sarsaparilla (selanjutnya disebut Sarsi) seperti beralih menjadi obsesi.  Waktu masih berstatus siswa SMP dulu (awal 1980an), sosok Sarsi muncul dengan tampilan aroma Rheumason (obat gosok) tapi gersang --- segar merangsang, ha haa haaa... itu unik pertama, rasa khas yang tidak global.  Bandingkan dengan Coca Cola, Pepsi Cola, Big Cola yang di mana pun rasanya ya begitu-begitu saja.  Bagi yang doyan, Sarsi itu rasanya ngangeni, sejuk krenyes di lidah dan manisnya moderat (tidak manis sangat).
Unik kedua, kemasan botol beling yang tutupnya keramik dibalut kawat.  Lha ini pun membuatku jadi amazed.  Pada pandangan pertama, belum tentu orang bisa membuka tutup keramik berkawat dengan segel kertas itu.  Situasi kebingungan beberapa detik sampai satu menit itu kadang menggelikan, sampai akhirnya.....”Oo, begitu to caranya”.  He hee, adegan ini sungguh berkesan bagi segenap orang pernah mengalaminya.
Unik ketiga, sekarang populasi Sarsi mengempis drastis.  Sebagai gambaran, limun dengan botol berkawat begini masih aku temui di Pasar Baru Salatiga tahun 1980an.  Pada dekade 1990an, Sarsi masih beredar di sekitar Muntilan, Pabelan sampai Jogja (sebagai homebase pabriknya).  Kini, mencari Sarsi original (bukan yang seolah-olah Sarsi bermerek AW dan lainnya) di Jogja pun sulit.  Mungkin, serbuan spesies cola dengan segala merek global telah sukses menggulung tikar produk cola lokal yang artistik ini.
Suatu hari di tahun 2012, Kompas menayangkan Mbah Karno yang sedang packing Sarsi merek Manna di pangkalannya Jalan Dagen, dekat Malioboro.  Saat itu belum ada greget bagiku untuk memburu Sarsi ke sana, walau sebenarnya hati memendam kangen minum Sarsi setelah bertahun-tahun tidak jumpa.  Tahun berikutnya,  aku sempatkan berweek-end ria ke Jogja dan mengejar Sarsi langsung ke Jalan Dagen.  Tengak-tengok kiri kanan menyisir alamat pabrikan Sarsi, aku tidak menemukan tanda dan jejak keberadaan Sarsi di situ.  Seorang penjaga warung yang aku tanya menjelaskan bahwa Sarsi Manna sudah tamat riwayatnya, production terminated.  Bahkan bekas pangkalannya pun sudah tidak ada karena berubah jadi bangunan hotel. Dengan patah hati aku pulang ke Salatiga tanpa membawa hasil.
Awal 2014, informasi aku tangkap dari jelajah Google dan membaca blog beberapa pendemen Sarsi, bahwa masih ada beberapa warung klasik yang memajang Sarsi.  Aku segera menyusun rencana operasi penangkapan Sarsi.  Pertama, membuat check list warung klasik penjual Sarsi.  Tercatat beberapa tempat seperti Soto Kadipiro Jl. Wates, RM Lie Djiong Jl. Katamso, RM Moro Seneng Jl. Magelang, Djoen Roti Jl. A Yani, dan warung Ys Sidosemi di Kota Gede yang masih punya stok limun.  Berikutnya, mengintip posisi warung sasaran lewat Wikimapia.  Ada yang langsung teridentifikasi, ada juga yang masih samar-samar tapi perkiraan lokasi sudah dilock on. 

Dalam perkembangan, ada produk Sarsi generasi baru bernama Indo Saparella.  Rasanya memang ori, bukan seolah-olah.  Sarsi yang ini bisa didapat di Salatiga pula, ada 2 kedai (setahuku) yang menjual Indo Saparella.  Ya lumayan, bisa mengobati rasa rindu sampai 50%.  Kok tidak mencapai target 100%?  Lha ini karena yang kumaksud bukan cuma isi wedang Sarsi yang ori, tapi juga botolnya yang klasik dengan tutup keramik berkawat yang nyeni.  So, rencana operasi tetap aku lanjutkan.
Mei 2014, operasi penangkapan Sarsi dijalankan.  Dari Salatiga, aku meluncur lewat Cepogo, Musuk, Karangnongko, Kemalang, turun ke Manisrenggo.  Ya ampun, jalannya hancur lebur gara-gara dilewati truk pasir dan batu.  Aku lanjut terus  ke Prambanan dan masuk ke negeri Jogja.  Bergerak terus ke selatan, aku menyasar Ys Sidosemi.  Sasaran ditemukan, tapi warungnya tutup.  Di pintu warung memang tertempel “Yen Selo So’ Tutup”.  Ya sudah, geser ke sasaran berikutnya RM Lie Djiong di Jalan Katamso.  Lagi-lagi, yang aku temukan hanya warung yang tutup.  Pindah ke barat, aku lewat Jalan Wates.  Dasar naas, Warung Soto Kadipiro hari itu libur.  Dan akhirnya, rasa nelangsaku makin komplit ketika RM Moro Seneng sebagai sasaran terakhir ternyata juga tutup.  Operasi penangkapan Sarsi hari itu gagal total.  Sebagai tombo kecele alias penawar kecewa, aku beli saja Bakpia-pia aneka rasa sebagai oleh-oleh buat anak semata wayang.


Juli 2014, obsesiku terhadap Sarsi mendorong digelarnya operasi penangkapan Sarsi jilid II.  Tapi kali ini sasarannya hanya di kawasan tengah Jogja saja, tidak mencakup ranah pinggiran seperti Jalan Wates atau Pasar Kotagede.  Operasi kali ini dilengkapi data intelijen lebih lengkap.  Maksudnya, sebelum meluncur ke sasaran, aku telepon dulu ke warung-warung selected tentang stok Sarsi yang ada.  Padahal aku sudah menetapkan target: tangkap Sarsi klasik dead or alive alias “mati atau hidup”.  “Hidup” artinya kalau bisa menangkap limun Sarsi versi asli sekalian botol antiknya.  “Mati” artinya kalau gagal menangkap Sarsi ori, ya botolnya saja jadilah. 
Pagi itu motorku menderu lagi ke Jogja, kali ini lewat jalur Kopeng, Ngablak, Kaponan belok kiri ke arah Ketep.  Dari Ketep turun ke arah Sawangan, belok kiri ke arah Muntilan, lanjut ke Pabelan, Sleman dan masuk ke tengah Jogja.  Sasaran pertama RM Moro Seneng belum buka.  Sasaran kedua RM Lie Djiong, ternyata sekarang hanya memajang  Indo Saparella yang botolnya mirip pemukul (thuthuk) gong.  Yach, kalau yang model begitu di Salatiga juga ada, kataku dalam batin.  Lanjut lagi perburuan, di toko Djoen Roti lagi-lagi bertemu Indo  Saparella.  Urung membeli Sarsi versi terbaru ini, aku malah mendapati beberapa jenis roti klasik yang rumusnya sudah paten sejak jaman Hindia Belanda. Salah satunya roti berbentuk buaya.  Lha menurutku ini bisa digolongkan unik, jadi aku ambil satu. 

Nah, ketika sampai di Jalan Pasar Kembang, perburuan membawa hasil.  Salah satu kios di dekat Stasiun Tugu ternyata menjadi pengepul Sarsi.  Dari mas penjaga kios diperoleh info bahwa ternyata untuk botol Sarsi jadul yang bertutup keramik dikawat, produksinya discontinued.  Jadi terhadap botol klasik yang masih eksis, perlakuannya adalah refill dan kanibalisme.  Di pabrik limun, botol yang sehat dicuci dulu sebelum diisi ulang Sarsi.  Botol yang tutupnya rusak dicarikan penggantinya dari botol lain.  Itulah kanibalisme.  Uniknya lagi, kalau hanya beli isinya saja, limun per botol harganya Rp. 5.000.  Kalau beli lengkap isi dan botolnya, harganya Rp. 20.000.  Pilih yang mana?


Dengan campuran rasa haru, senang, lega (contented) dan sedikit rasa “aneh-gimanaa gitu” karena berhasil menemukan sosok unik yang legendaries itu, aku memutuskan beli Sarsi sak botole ben marem.  Pertimbanganku adalah kalau tidak diambil sekarang, jangan-jangan kelak akan benar-benar tamat riwayatnya Sarsi bernuansa jadul itu.  Memang limun Sarsinya segera habis dalam hitungan menit sesampainya di rumah, tetapi botolnya akan tetap menghidupkan kenangan sampai bertahun-tahun kemudian (selama tidak dibuang).  Akhirnya botol Sarsi klasik bermerek Minerva itu aku jadikan kenang-kenangan bernama Monumen Wedang Rheumason.