Mencari yang unik sampai ke Jogja? Eh, nanti dulu. Ini harus jelas, apanya yang unik. Karena “unik” itu sendiri merujuk ke specialty, jadi ya biarkan saja kata itu
muncul dalam konteksnya sendiri. Perlu
kesepakatan umum atau musyawarah untuk mufakat buat merumuskan “unik”? Atau voting dulu? Tak usah.
Unik sendiri artinya “tidak umum”.
Lha berarti unik itu bisa subyektif,
karena unikku belum tentu unikmu. Yang
aku anggap unik belum tentu kau anggap demikian. Ya begitulah.
So, awal cerita ini hanya
“jaga-jaga” kalau kelak kau kecewa (terbawa ekspektasi berlebih) hanya karena
mendapat cerita yang (ternyata) kau anggap tidak unik, sementara bagiku ini
tiada duanya. Yeach, let me proceed my story.
Check it out.
(Botol) Limun
Sarsaparilla
Hasrat dan kerinduan pada limun
sarsaparilla (selanjutnya disebut Sarsi) seperti beralih menjadi obsesi. Waktu masih berstatus siswa SMP dulu (awal
1980an), sosok Sarsi muncul dengan tampilan aroma Rheumason (obat gosok) tapi
gersang --- segar merangsang, ha haa haaa... itu unik pertama, rasa khas yang
tidak global. Bandingkan dengan Coca
Cola, Pepsi Cola, Big Cola yang di mana pun rasanya ya begitu-begitu saja. Bagi yang doyan, Sarsi itu rasanya ngangeni, sejuk krenyes di lidah dan
manisnya moderat (tidak manis sangat).
Unik kedua, kemasan botol beling yang
tutupnya keramik dibalut kawat. Lha ini
pun membuatku jadi amazed. Pada pandangan pertama, belum tentu orang
bisa membuka tutup keramik berkawat dengan segel kertas itu. Situasi kebingungan beberapa detik sampai
satu menit itu kadang menggelikan, sampai akhirnya.....”Oo, begitu to
caranya”. He hee, adegan ini sungguh berkesan
bagi segenap orang pernah mengalaminya.
Unik ketiga, sekarang populasi Sarsi
mengempis drastis. Sebagai gambaran,
limun dengan botol berkawat begini masih aku temui di Pasar Baru Salatiga tahun
1980an. Pada dekade 1990an, Sarsi masih
beredar di sekitar Muntilan, Pabelan sampai Jogja (sebagai homebase
pabriknya). Kini, mencari Sarsi original
(bukan yang seolah-olah Sarsi bermerek AW dan lainnya) di Jogja pun sulit. Mungkin, serbuan spesies cola dengan segala
merek global telah sukses menggulung tikar produk cola lokal yang artistik ini.
Suatu hari di tahun 2012, Kompas menayangkan
Mbah Karno yang sedang packing Sarsi merek Manna di pangkalannya Jalan Dagen,
dekat Malioboro. Saat itu belum ada
greget bagiku untuk memburu Sarsi ke sana, walau sebenarnya hati memendam
kangen minum Sarsi setelah bertahun-tahun tidak jumpa. Tahun berikutnya, aku sempatkan berweek-end ria ke Jogja dan mengejar Sarsi langsung ke Jalan
Dagen. Tengak-tengok kiri kanan menyisir
alamat pabrikan Sarsi, aku tidak menemukan tanda dan jejak keberadaan Sarsi di
situ. Seorang penjaga warung yang aku
tanya menjelaskan bahwa Sarsi Manna sudah tamat riwayatnya, production terminated. Bahkan bekas
pangkalannya pun sudah tidak ada karena berubah jadi bangunan hotel. Dengan
patah hati aku pulang ke Salatiga tanpa membawa hasil.
Awal 2014, informasi aku tangkap dari
jelajah Google dan membaca blog beberapa pendemen Sarsi, bahwa masih ada
beberapa warung klasik yang memajang Sarsi.
Aku segera menyusun rencana operasi penangkapan Sarsi. Pertama, membuat check list warung klasik
penjual Sarsi. Tercatat beberapa tempat
seperti Soto Kadipiro Jl. Wates, RM Lie Djiong Jl. Katamso, RM Moro Seneng Jl.
Magelang, Djoen Roti Jl. A Yani, dan warung Ys Sidosemi di Kota Gede yang masih punya stok limun. Berikutnya, mengintip posisi warung sasaran
lewat Wikimapia. Ada yang langsung
teridentifikasi, ada juga yang masih samar-samar tapi perkiraan lokasi sudah dilock on.
Dalam perkembangan, ada produk Sarsi
generasi baru bernama Indo Saparella.
Rasanya memang ori, bukan seolah-olah.
Sarsi yang ini bisa didapat di Salatiga pula, ada 2 kedai (setahuku)
yang menjual Indo Saparella. Ya lumayan,
bisa mengobati rasa rindu sampai 50%.
Kok tidak mencapai target 100%?
Lha ini karena yang kumaksud bukan cuma isi wedang Sarsi yang ori, tapi
juga botolnya yang klasik dengan tutup keramik berkawat yang nyeni. So, rencana operasi tetap aku lanjutkan.
Mei 2014, operasi penangkapan Sarsi
dijalankan. Dari Salatiga, aku meluncur
lewat Cepogo, Musuk, Karangnongko, Kemalang, turun ke Manisrenggo. Ya ampun, jalannya hancur lebur gara-gara
dilewati truk pasir dan batu. Aku lanjut
terus ke Prambanan dan masuk ke negeri
Jogja. Bergerak terus ke selatan, aku
menyasar Ys Sidosemi. Sasaran ditemukan,
tapi warungnya tutup. Di pintu warung
memang tertempel “Yen Selo So’ Tutup”.
Ya sudah, geser ke sasaran berikutnya RM Lie Djiong di Jalan
Katamso. Lagi-lagi, yang aku temukan
hanya warung yang tutup. Pindah ke
barat, aku lewat Jalan Wates. Dasar
naas, Warung Soto Kadipiro hari itu libur.
Dan akhirnya, rasa nelangsaku makin komplit ketika RM Moro Seneng
sebagai sasaran terakhir ternyata juga tutup.
Operasi penangkapan Sarsi hari itu gagal total. Sebagai tombo
kecele alias penawar kecewa, aku beli saja Bakpia-pia aneka rasa sebagai
oleh-oleh buat anak semata wayang.
Juli 2014, obsesiku
terhadap Sarsi mendorong digelarnya operasi penangkapan Sarsi jilid II. Tapi kali ini sasarannya hanya di kawasan
tengah Jogja saja, tidak mencakup ranah pinggiran seperti Jalan Wates atau
Pasar Kotagede. Operasi kali ini
dilengkapi data intelijen lebih lengkap.
Maksudnya, sebelum meluncur ke sasaran, aku telepon dulu ke
warung-warung selected tentang stok
Sarsi yang ada. Padahal aku sudah
menetapkan target: tangkap Sarsi klasik dead
or alive alias “mati atau hidup”. “Hidup”
artinya kalau bisa menangkap limun Sarsi versi asli sekalian botol antiknya. “Mati” artinya kalau gagal menangkap Sarsi
ori, ya botolnya saja jadilah.
Pagi itu motorku
menderu lagi ke Jogja, kali ini lewat jalur Kopeng, Ngablak, Kaponan belok kiri
ke arah Ketep. Dari Ketep turun ke arah Sawangan,
belok kiri ke arah Muntilan, lanjut ke Pabelan, Sleman dan masuk ke tengah
Jogja. Sasaran pertama RM Moro Seneng
belum buka. Sasaran kedua RM Lie Djiong,
ternyata sekarang hanya memajang Indo
Saparella yang botolnya mirip pemukul (thuthuk)
gong. Yach, kalau yang model begitu di
Salatiga juga ada, kataku dalam batin. Lanjut
lagi perburuan, di toko Djoen Roti lagi-lagi bertemu Indo Saparella.
Urung membeli Sarsi versi terbaru ini, aku malah mendapati beberapa
jenis roti klasik yang rumusnya sudah paten sejak jaman Hindia Belanda. Salah
satunya roti berbentuk buaya. Lha
menurutku ini bisa digolongkan unik, jadi aku ambil satu.
Nah, ketika sampai di
Jalan Pasar Kembang, perburuan membawa hasil.
Salah satu kios di dekat Stasiun Tugu ternyata menjadi pengepul Sarsi. Dari mas penjaga kios diperoleh info bahwa
ternyata untuk botol Sarsi jadul yang bertutup keramik dikawat, produksinya discontinued. Jadi terhadap botol klasik yang masih eksis, perlakuannya
adalah refill dan kanibalisme. Di pabrik
limun, botol yang sehat dicuci dulu sebelum diisi ulang Sarsi. Botol yang tutupnya rusak dicarikan
penggantinya dari botol lain. Itulah kanibalisme. Uniknya lagi, kalau hanya beli isinya saja,
limun per botol harganya Rp. 5.000.
Kalau beli lengkap isi dan botolnya, harganya Rp. 20.000. Pilih yang mana?
Dengan campuran rasa
haru, senang, lega (contented) dan
sedikit rasa “aneh-gimanaa gitu” karena berhasil menemukan sosok unik yang legendaries
itu, aku memutuskan beli Sarsi sak botole
ben marem. Pertimbanganku adalah kalau
tidak diambil sekarang, jangan-jangan kelak akan benar-benar tamat riwayatnya
Sarsi bernuansa jadul itu. Memang limun
Sarsinya segera habis dalam hitungan menit sesampainya di rumah, tetapi botolnya
akan tetap menghidupkan kenangan sampai bertahun-tahun kemudian (selama tidak
dibuang). Akhirnya botol Sarsi klasik
bermerek Minerva itu aku jadikan kenang-kenangan bernama Monumen Wedang
Rheumason.
No comments:
Post a Comment