Monday, May 19, 2014

MENGITARI GUNUNG MERBABU

Tiap kali ngetrip lewat Tengaran-Ampel-Boyolali, atau Kopeng-Ngablak-Magelang, pandangan
mata mesti kecanthol ke arah gunung Merbabu.
Kalau cuaca lagi cerah tiada mendung sendu mendayu-ndayu, itu gunung
tampilannya keren dan beken, megah dan indah, hijau dan memukau.  Makanya kemudian ada ide mencuat dari hard
disk di kepala, bagaimana kalau suatu saat browsing keliling Merbabu?  Ada jalan normal yang nyambung terus dari
start sampai finish kah?  Jalannya
aksesibel kah kalau pakai motor? 

Ide yang mengusik dan menggelitik kepala itu lalu aku tindak lanjuti supaya ati lega,
itu yang pertama.  Yang kedua, supaya
bisa jadi cerita ke teman-temin, saudara-saudari, tetangga-tetanggi,
kerabat-kerabit, bloggerwan-bloggerwati, dan pembaca mbah Gugel semuaaaa....  Nah, inilah prosedurnya:
-     Pertama,
ngintip & nyimak peta.  Untung jaman
sekarang ada Google Map, Wikimapia, Panoramio, ya semacam itulah.  Jalur yang diperkirakan mau dilewati
dibaca-baca dulu, terus gambarnya (Google map skala 500m) diprint.  Berhubung satu lembar folio tak cukup, ya
ngeprint beberapa spot (bersebelahan) terus disambung-sambung. Jadilah satu
peta jalan yang representatipb..
-   
Kedua,
membandingkan peta rakitan tadi
sama Wikimapia atau Panoramio.  Tandai gambar
(maksudnya tambahi tulisan/ keterangan) kalau ketemu nama desa, dusun, jalan,
jembatan, lapangan, kantor desa, sekolah, pasar, pokoknya serba fasilitas
publik.  Soalnya, peta Google itu cuma
menampakkan jalan sama saluran air (jurang, kali, selokan), tanpa nama. Ada
ikon sekolah atau tempat ibadah atau toko, tapi posisinya sering tiada tepat
alias menyesatkan!  Yang pas biasanya ada
di Wikimapia.  Makanya perlu
membandingkin Google map sama Wikimapia.
-   
Ketiga,
jalur jalan yang akan dilewati
ditebalkan pakai pensil.  Ini cuma untuk pedoman supaya tidak nyasar ke
mana-mana. 
Ini peta ala kadarnya, hasil ngeprin Goggle map
Oke Brow, setelah menentukan jalur target operasinya,
tim touring siap berpatroli.  Kali ini
timnya berisi dua oknum saja, si Zupre dan aku.
Itu thock.  Si Zupre sebagai
wingman merangkap kameraman, mengawaki motor SupraX.  Aku sebagai navigator, mengoperasikan motor
Vegy Z.  Hari-H ditentukan: Minggu,
tanggal 11 Mei 2014.  Ini laporannya:

RANDUACIR – JLAREM
Jam 7 si Zupre sudah mendarat di muka rumah, eh…aku
belum mandi (padahal sudah sarapan soto….ha haa, jangan ditiru ya?).  Pascamandi & persiapan ala kadar, jam
7:30 tim traveling took off dengan khidmat.
Aku ngisi bensin dulu di pom bensin dekat Lapangan Pancasila.
Siap traveling
Resminya, trip dimulai dari jalur Pasar Sapi lewat
Ngawen (bukan yang jalan Kopeng).  Jalan
naik ke arah Kumpulrejo (melayang di atas jalan lingkar), terus ke selatan.
Sampai di perempatan Puskesmas Ploso, belok kanan.  Tak lama setelah lewat lapangan dan pasar
Kembang, ada rambu Salatiga dicoret.
Berarti ini sudah wilayah kekuasaan Getasan.  Itu buktinya ada SMP 2 Getasan di sebelah
kanan.
Sampai di pertigaan Setugur, belok kiri.  Berhenti sebentar, aku buka peta buat ngukur
jarak dulu & konfirmasi arah berikut.
300 meter ke depan ada pertigaan, belok kanan. Eh, jalannya beton
selebar becak melewati kebun dan tegalan.
Nanjak pula…asyik lah, si Zupre sampai ber”haa-haa-hii-hii”.  Tapi waktu lewat dekat peternakan ayam
petelur, jalannya berjerawat-geradakan-kerikil bergoyang.  Rusak daah.
Masuk desa Surodadi, jalannya halus (sementara). 
Ke selatan, masuk desa Jlarem (kec Ampel), oo..laa
laa….jalannya banyak yang tak berkulit (aspal), alias berbatu-batu
meringis.  Belakang motor jadi sedikit
bergoyang Caesar, pas lewat jalan berbatu-batu.
Untunglah adegan goyang berdendang itu tak lama.  Setelah belok ke kiri di pertigaan Jlarem ke
arah Ngadirojo, jalannya halus lagi.
Kelihatannya ini jalan baru dilapis ya?
Soalnya di peta Wikimapia gambarnya belum ada.  Mungkin gambar satelitnya edisi beberapa
tahun lalu, Google males update ya?
Dari desa Jlarem ini, udara sudah terasa sejuk.  Bagian atas gunung Merbabu juga tampak
gamblang, walau agak botak (tak seperti gambaran awam kalau gunung itu gondrong
berhutan pinus).  Hutan pinus ada, tapi
makin sporadis belang-belang, campur dengan ladang penduduk yang bergaris-garis.

NGADIROJO – CANDISARI
            Lepas dari kawasan
Jlarem, tim traveling masuk ke area desa Ngadirojo.  Bagian terfavorit (menurutku) adalah
perempatan berbentuk X yang di tengahnya ada pohon beringin dipasangi lampu
penerangan.  Berhenti dulu aah…cek peta
lagi sambil tengok kanan-kiri, depan-belakang, atas-bawah. 
Simpang leter X di Ngadirojo, Kec Ampel
            
  













 Dari perempatan X
ini, kalau ke timur/ ke bawah, menuju kantor desa Ngadirojo, terus ke PT.
Primayuda (pabrik benang yang ngetop se kecamatan Ampel).  Kalau ke barat/ ke atas, ada beberapa dusun
di antara hutan pinus dengan latar belakang pucuk Merbabu.  Kalau ke selatan mengarah ke desa Sampetan
yang jalannya mulus.  Di dekat perempatan
ada SMP 3 Ampel, yang ruang kelasnya seperti terletak di lembah/ cekungan
berkelok.
 
SMP 4 Ampel, kelasnya di bawah sana

            Ayo dilanjut
Bro.  Setelah desa Ngadirojo, tim
berpatroli lewat desa Sampetan ke arah Ngargoloka.  Di tepi tanjakan ke Malibari, berhenti lagi
aah….si Zupre ambil berapa foto, aku meneropong gunung & daratan di bawah
sana.  Pemandangan yang magnificent.  Di lapangan Ngargoloka, tak jauh dari situ,
tim berhenti lagi sebentar.  Soalnya di
atas ada seekor burung alap-alap (elang Jawa?) hitam terbang pelan berputar.  Sayapnya lebar banget, terbangnya cool
(memang gayanya begitu).  Gara-gara
terpukau jadi bengong lupa ambil fotonya.
Mungkin karena aku jarang lihat yang begitu ya? 
Dari atas Malibari-Ngargoloka. Penampakan ke arah Salatiga& Tengaran
 
Pas diteropong, gunungnya berkabut
 
Tanjakan ke Malibari
            Terus, setelah lewat
jalan berbelok-belok di antara kebun, ladang, seed bed (tempat pembibitan
sayur), asrama ayam petelur (peternakan maksudnya), tibalah di desa
Candisari.  Di situ ada bumi perkemahan
yang namanya ngetop sebagai “Bumi Perkemahan Pantaran” (padahal Pantaran itu
nama desa sebelah baratnya). 
Bumi perkemahan sperti tertutup deretan warung

NGAGRONG – JERUK – SELO
Cabut dari lapangan Candisari, belok kanan masuk desa
Ngagrong.  Nah, dari Ngagrong ini sampai
desa Jeruk, tanjakannya tegas tanpa rikuh pakewuh.  Motor sehat wal afiat pun harus melaju di gir
1 atau 2, soalnya tanjakannya nyata dan panjang. 
Rasa nyaman kembali nyembul pas lewat jalur antara
desa Jeruk dan desa Tompak.  Udara segar
seperti di ruang AC, bentang alam yang hijau kemilau, jalan beraspal mulus,
tampilan perkasa gunung Merapi di kanan depan dan Merbabu di kanan belakang,
wuuaah….hebring lah.
Jalan dari Ds Jeruk ke Selo dengan tampilan G. Merapi
















Desa di lereng Merbabu
Siap lanjutkan patroli menuju Selo

Masuk kawasan Selo (jalan Boyolali – Mungkid), kok
rasanya seperti di area wisata ya? Lha, memang ini tempat wisata kok.  Ada hotel, homestay, wisma, agrotourism,
padahal sebenarnya Selo cuma kecamatan di antara Merapi-Merbabu.  Daya tarik utamanya memang pemandangan
(langsung) lereng dan puncak Merapi.  Di
Selo, camilan bin kuliner yang kondang di antaranya jadah bakar dengan
aksesoris kelapa srundeng, tempe bacem atau ayam panggang.  Jadinya mampir dulu to, merehat barang
hangat: jadah bakar + teh panas.  Wuih,
gayeng sungguh…enack Bro! 
The heart of Kec Selo. G. Merapi sebagai background
Ini dia kampanye jadah gurih
Jadah brongot yang didukung srundeng...nyakdhuuut.

WONOLELO – KETEP – KAPONAN
Selesai rehat jadah bakar, patroli dilanjut ke arah
barat.  Jalannya berbelok-belok,
naik-turun, itulah tampilan khas jalan di gunung (mengikuti permukaan tanah
yang keriput-berlipat).  Sampai di
Wonolelo, mampir di obyek wisata air terjun Kedung Kayang.  Tempatnya maknyus! Ada bukit ijo royo-royo,
ada gazebo kecil-kecil buat nonton pemandangan, dan air terjun sebagai pemeran
utama sudah terlihat dari lereng/ tebing tak jauh dari gardu loket karcis.  Cuma kalau mau main di kali atau mencicipi
semburan air terjunnya, orang harus turun menyisir tebing seratusan meter ke
bawah sanaa… wach, males aku.  Jadi ya,
aku cuma meneropong dari atas saja.  Eh,
rupanya di situ juga jadi arena ‘festival pacaran’ lho, banyak pasangan lovers
stand by dengan khidmat.  Si Zupre jadi
pengin…ha haa haaa..

Air terjun Kedung Kayang dilihat dari tebing di atasnya
Lihat tuu...yang di bawah air terjun, orang-orang kelihatan kecil-kecil seperti semut
Yang berduaan macam begini juga banyak ditemui
Cabut dari Kedung Kayang, tim melaju lewat Ketep Pass
ke arah Kaponan.  Lewat saja tanpa
mampir, soalnya pas hari libur begitu tempatnya crowded alias full house.  Populasi sepeda motor, mobil sendiri, mobil
rental, mobil tetangga, sampai bis piknik besar-besar nimbrung semua di
situ.  Lagi pula aku tidak mood, soalnya
pucuk gunungnya banyak berkabut jadi tak banyak yang bisa dimonitor.  So, dari Ketep dilanjut lewat jalur kebun
sayur & strawberry for sale.
Menurutku penampakan lapak strawberrynya jadi sedikit kurang menarik
karena sepanjang jalan (didominasi tanjakan) itu sering ada gundukan pupuk
kandang ayam dengan aroma yang tengik membahana.
Sempat mampir dulu di Pakis, tim touring naik lagi ke
Kaponan.  Kaponan itu suatu desa yang
ngetop dengan pasar tumpahnya.  Apa lagi
menjelang Lebaran, pasar tumpahnya merajalela astaganaga, sampai lalu lintas
melambat jadinya.  Anehnya, kalau
menjelang petang, tempatnya jadi sepi.
Mungkin warga lokal di sana malas hang out di luar, soalnya udaranya
dingin habiis…

NGABLAK – GETASAN
Dari arah Magelang ke Ngablak, jalannya halus tapi
dominan tanjakan.  Di beberapa spot
tikungannya termasuk ekstrim, sedikit turun-menikung tajam di jembatan-terus
menanjak.  Ada satu bagian jalan yang
membelok-melambung, dengan paparan ladang sayur berlatar belakang Gunung
Merbabu di satu sisi, dan lembah membentang di sisi lain.  Di pinggir jalan melambung dengan deretan
pohon cemara peneduh ini, sering tampak sosok-sosok manusia nongkrong menikmati
pemandangan lembah di bawah.  Ada yang
sekedar rehat perjalanan, ada yang (mungkin) terpana ke panorama, ada yang
pacaran dengan kusyuk, ada yang asyik berselfie & bernarsis-ria, dan ada
yang hanya bengong.

Sampai di Ngablak, jalan bervariasi mendatar, sedikit
naik, sedikit turun.  Kondisi begini
ditemui sampai Kopeng (masuk wilayah kekuasaan Kec Getasan).  Sebenarnya penampakan area Kopeng bagus, ada
bunga-bunga, ada kebun sayur, ada bangunan klasik tempat berlibur, ada hutan
pinus.  Masalahnya sekarang atmosfir
Kopeng sudah bernuansa urban, itu pertama.
Aroma komersial lebih terasa ketimbang suasana pedesaan yang lugu apa
adanya.  Kedua, hutan pinusnya makin
menipis, tidak sehijau dan serimbun dulu.
Masalah ketiga, kalau lewat Kopeng sambil lihat kiri-kanan, (maksud hati
melihat pemandangan) biasanya terus ditawari kamar oleh orang tertentu di
pinggir jalan…(mau menginap?  Mau jasa
pijat ++? Mau jasa “kebugaran” lainnya?).
Monggo lho (bagi yang suka “bisnis ngeres”) haa haa….
Lewati Kopeng ke arah Salatiga, jalurnya sungguh
membantu upaya penghematan Bensin.  Jalan
yang terus-menerus turun, sejak Kopeng, Salaran, Getasan downtown, Sumogawe,
sampai masuk wilayah Salatiga – Salib Putih, Bendosari, terus Ngawen,
kegiatannya cuma ngerem dan ngerem saja.
Sedikit masalah dengan jalan panjang yang turun terus ini adalah
permukaan aspal yang mulai berkeriput-keriput, bergoyang sedikit
bergelombang.  Tangan pun agak pegel
jadinya.
 
Setelah
perempatan JLS- Bendosari, jalan mulai tenang merata dengan turunan landai
saja.  Hati pun lega, soalnya acara trip
mengitari Gunung Merbabu sudah komplit paripurna dengan penuh semangat (dan
birama 4/4… haa haa).  Di perempatan JLS,
si Zupre belok kiri, katanya dia mau ngadem di Taman Bendosari, aku lanjut
lurus saja arah Pasar Sapi.  Tahap akhir
traveling, yaitu coming home. Yeaaach….