Saturday, October 28, 2017

NENGOK SITUS LIYANGAN - UMBUL JUMPRIT - KEBUN TAMBI - TELAGA MENJER

Daripada suntuk melakoni pekerjaan sehari-hari, sekali waktu ambil kesempatan berdolan ria ke tempat-tempat asik.  Yang namanya tempat asik itu tidak harus yang heboh now, atau yang laris kekinian, atau yang meriah dikerumuni fans.  Secara gamblang, tempat asik kudu mesti membuat kita jadi fun, joy, terinspirasi, tentram, sejahtera, bahagia, segar bugar, gemah ripah loh jinawi (lho, lho, kok kebablasan tho?).

 Pas ada moment (bukan cegatan polisi lho ini), artinya waktu yang tidak mepet tergesa-gersa, dan didukung kala cuaca terang benderang tanpa hujan badai mengancam, digelarlah perjalanan darat ke sekitar wilayah Temanggung dan Wonosobo.  Persiapan ala kadar dimulai.  Motor kesayangan bin andalan dengan code name si Vegie sudah diservis berkala, ganti oli plus ganti ban belakang (soalnya sudah membotak).  Peta jalan dan info akomodasi sudah clear.

Di pagi yang cerah, acara dolan dimulai.  Pertama lewat jalan Getasan, ke kanan lewat jalur jalan di kaki Gunung Telomoyo.  Melintas Desa Keditan (bukan Kreditan), Pagergunung, Sekar Langit, sampai pada kota Kecamatan Grabag.  Mampir sebentar mengisi tambahan logistik, terus lanjut lewat Pringsurat ke kanan arah Kranggan.  Sampai di jembatan Kranggan, mampir dulu menengok tempat bersejarah mencekam.
 
Jembatan Kranggan, Temanggung

 Jembatan Kranggan sebenarnya terpampang di tempat yang asik, pas dan enak dipandang.  Dilatarbelakangi Gunung Sumbing dan Sindoro, di dekat hamparan sawah, dan di bawahnya mengalir Sungai Progo. Jembatannya sendiri dirancang dan dibangun dengan konstruksi yang asik pula.  Tapi jembatan ini ngetop dengan riwayat mencekam full horor.  Tempat ini menjadi lokasi penjagalan para pejuang (dan orang-orang yang dianggap membantu pejuang kemerdekaan) pada tahun 1948 -1949.  Konon ada 1600an orang yang dieksekusi tentara NICA Belanda, sampai air kali di bawah jembatan berwarna merah darah.

Sekarang jembatan horor itu tidak dipakai, karena sudah ada jembatan sebelah sebagai penggantinya.  Jembatan lama dibiarkan mangkrak sampai bopeng berlubang.  Di pinggir jembatan lama terdapat monumen untuk memperingati tragedi penjagalan para pejuang kemerdekaan.
Monumen peristiwa pembantaian pejuang

 Pas nengok ke bawah jembatan, ada rombongan turis lokal sedang menikmati naik perahu karet beregu.  Mereka pakai jaket pelampung dan berhelm (mungkin supaya tidak ditilang polisi ya ?... he, he, he).
Ada yang rafting di Sungai Progo
 Sebelum lanjut jalan, sempat menengok alias berziarah ke makam Jenderal Bambang Sugeng (dulu pernah jadi Kepala Staf Angkatan Darat dan Dubes di Vatikan).  Pekarangan makamnya ada di sebelah jembatan.  Wasiat almarhum memang begini, kalau meninggal dimakamkan di tepi Sungai Progo agar bersanding dengan arwah para pejuang yang gugur di sana.
Makam Jenderal Bambang Sugeng

Lanjut jalan lagi, melewati kota Temanggung ke arah Parakan.  Sampai di Parakan, mampir dulu di Rumah Makan Bu Carik (dekat Pasar Parakan) yang legendaris.  Tempatnya antik dengan menu yang klasik, andalannya nasi brongkos dan rames.  Rumah makan ini sudah ngetop sejak Indonesia belum merdeka.  Sampai terkini, pengunjung dan pengikutnya tetap berjibun ria, walau di sana sini muncul pesaing muda semacam gerai steak, geprak atau penyetan.  

 Setelah makan dengan khidmat dan penuh semangat, si Vegie dipacu lagi ke arah utara - barat.  Sampai di Ngadirejo, lewati pasar dan di pertigaan belok kiri ke arah Liyangan.  Sekitar 2 km sejak lewat pertigaan Ngadirejo, sampailah di gapura Desa Purbosari.  Nama desanya saja sudah purbo (alias purba), itu menunjukkan sesuatu yang sungguh kuno secara siginifikan.  Setelah lewat jalan kampung yang berlandaskan batu-batu menanjak, tampaklah Situs Liyangan yang historis.
Papan nama Situs Liyangan
 Situs ini adalah mantan perkampungan di masa kerajaan Mataram Hindu.  Yang terkuak di tempat ini baru secuil bin sebagian kecil saja, menampilkan bekas mushola, eh bukan...., bekas kuil, pagar, jalan batu, saluran irigasi, dan rumah.  



Tembok jaman purba di pinggir jalan batu


Menurut petugas jaga di sana, bagian yang lebih besar masih terpendam dan belum diekskavasi.  Dari tempat masuk Situs Liyangan, menurut Pak Petugas, terdapat banyak bangunan lain di lokasi sampai berjarak 600 meter ke atas (arah Gunung Sindoro).  Seandainya semua peninggalan yang terpendam itu bisa dipaparkan, wuuaaah...ruarrbiyasssaaa..... mungkin kompleks Candi Borobudur pun kalah besarnya.

Karena sebagian besar Situs Liyangan masih teka-teki, ya sudah tunggu saja sampai pemaparannya lengkap dan tuntas.  Artinya masih butuh bertahun-tahun lagi kalau ingin menonton Situs Liyangan dengan formasi paripurna.  So, setelah melihat sekeliling Liyangan, langsung cabut ke tujuan berikutnya, Umbul Jumprit.
Gapura Umbul Jumprit
 Umbul itu artinya sumber air (bukan dolanan jadul berupa gambar yang dilempar/ diumbulke dan dipelototi buat memantau mana gambar yang terbuka (menang) dan mana gambar yang tengkurap (kalah)).  Jumprit itu adalah nama Kyai Jumprit, tokoh dari akhir masa Majapahit yang makamnya terletak di dekat sendang/ mata air.
Gapura Umbul Jumprit dari arah dalam

 
Makam Kyai Jumpri
Kata Pak Penjaga (yang juga menjual karcis masuk), kalau malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon biasa ada pengunjung yang berdoa/ semedi di dekat sendang.  Ada juga pengunjung yang menerapkan ritual berendam di sendang.  Airnya memang sungguh jernih, sebening Raisa.....eh, sebening kaca, tapi dinginnya...brrrrrr ! Kok ada yang kuat berendam yach ?
Sendang Jumprit yang airnya jernih.  Yang sedang berjalan itu bukan Raisa lho..
 Nah, ada lagi yang spesial di Umbul Jumprit, yaitu penduduk pribumi yang suka bergantungan di pohon-pohon besar.  Kalau ada pengunjung, mereka segera turun mendekat.  Maksudnya mungkin mau minta sedekah makanan, tapi mau ngomong kok malu, hiks..hiks...  Tapi jangan underestimate tongkrongan bersahaja mereka lho, soalnya ada beberapa ekor yang nakal.  Itu warga pribumi ada yang berani mengambil sandal pengunjung dan dibawa lari, meskipun kemudian dibuang/ dilepas juga itu sandal.
 
Monyet si warga pribumi di Umbul Jumprit.  Ada yang berani ambil sandal pengunjung lho.

 Setelah cukup merasakan khidmatnya suasana Umbul Jumprit, cabut lagi Bro.  Jelajah selanjutnya ke arah barat, nanjak di lereng Gunung Sindoro.  Beberapa spot memang menunjukkan tanjakan nyata dan berkelok.  Untung si Vegie sudah terlatih melewati rute semacam ini (sejak diajak naik ke puncak Telomoyo, lalu trip ke Candi Cetho di lereng Lawu, dan pernah melintas tanjakan antara Grabag - Ngablak). 
Jalan menanjak ke arah Sindoro
 
Menanjak itu sudah biasa, tenang saja Bro.

 Menjelang sore, sampailah di Agrowisata Tambi.  Ini adalah perkebunan teh yang selain memproduksi teh sebagai core business, masih punya wing business alias usaha sambilan berupa penginapan dan aula/ ruang pertemuan.  Tempat ini memang ngetop di kalangan pegiat outbond dan mereka yang ingin ngadem di ranah pegunungan.
Suasana jalan di depan Agrowisata Teh Tambi
 Perjalanan memang sengaja (diatur) supaya sampai di Agrowisata Sambi tepat waktu sore.  Maksudnya agar pas saatnya istirahat dan bermalam di wisma yang tersedia.  Si Vegie pun diistirahatkan di bawah pohon, depan wisma penginapan.
Senja tiba, saatnya istirahat.
Si Vegie istirahat di bawah pohon
Karena sore/ malam harinya pengelola wisma tidak menyediakan makan, dan lokasi warung makan di desa sekitarnya lumayan jauh, maka makan malamnya pakai bekal logistik yang disupply dari Grabag tadi pagi.  Ya memang sudah dirancang begitu.  Pokoknya tetap asik tanpa terlantar kelaparan, ha haa....

Esok hari, sebelum sarapan ada waktu untuk jalan-jalan di sekitar Agrowisata Tambi.  Pagi yang cerah (dan senyum di bibir merah, kata lagunya Chrisye, 1983), suasana masih sepi dengan backsound suara burung cucak (atau kutilang ?) yang bernyanyi di perkebunan.  Dengan bersenjatakan binocular dan kamera hp yang simpel, dilaksanakan pemantauan pemandangan kebun teh yang hijau royo-royo.
Sebagian sudah terang, sebagian masih gelap


Inilah gunanya membawa binocular, buat mengintip yang jauh-jauh
Segarnya tampilan kebun teh yang hijau royo-royo
Setelah cukup acara jalan-jalan nonton kebun, balik lagi ke wisma.  Ternyata sudah disediakan teh hangat dan cemilan lokal berupa pisang goreng potong-kotak-kotak.  Kalau di kampung Salatiga, pisang goreng semacam itu namanya kepel.  Setelah itu muncul menu utama sarapan, yaitu nasi goreng dengan aksesoris tempe, timun, tomat, telur (ceplok).
Teh hangat dan pisang goreng kepel
Monggo dinikmati, sarapan paginya
Sambil makan pagi, ada pemandangan yang juga layak dinikmati. Di sebelah barat tampak pegunungan (Gunung Bisma ?) yang merupakan bagian dari Dataran Tinggi Dieng. Jauh di belakangnya tampak puncak Gunung Slamet sedikit mengintip sayup-sayup.

 Wolaa, ternyata hari itu ada tampilan istimewa masuk ke Agrowisata Tambi.  Warga desa sekitar menggelar pawai menyambut bulan puasa.  Iring-iringan pawai sampai di dekat wisma dan berhenti di taman.  Begitu leading drumband berhenti, anak-anak TK (atau juga PAUD) peserta pawai langsung berhamburan ke taman bermain.  Wisma yang sepi berubah jadi meriah.  Ini dia penampakannya.
Drumband Banser NU
Anak-anak langsung menyerbu taman
 Setelah cek out dan tentu saja membayar biaya menginap, lanjut perjalanan ke arah Kecamatan Kejajar.  Sampai Kejajar, belok kiri masuk desa (tidak tahu namanya desa apa) dan menuju Telaga Menjer.  Danau vulkanik ini jadi bendungan alam yang airnya dialirkan ke pabrik listrik (PLTA) Gerung, sekitar 2 km di bawahnya.
Telaga Menjer yang eksotis dan menenangkan
 Telaga Menjer sebenarnya tempat yang syahdu dan menentramkan kalbu (chie chiee...), karena memang suasananya tenang dengan latar belakang Gunung Bisma yang berwibawa.  Di lerengnya terdapat obyek wisata relatif baru, yaitu bukit Seroja.  Sayang pada hari itu suasana terpolusi oleh ulah pelaku perahu sewa yang nyetel dangdut koplo keras-keras (sampai suaranya bergaung memantul di dinding perbukitan).  Kesannya kok seronok campur ndesoooo....


Setelah lepas dari Telaga Menjer, perjalanan balik siang hari itu melewati Gerung, terus ke pusat kota Wonosobo.  Setelah duduk-duduk sebentar di alun-alun Wonosobo, lanjut ke arah Kledung (tepat di antara Gunung Sumbing dan Sindoro) lalu Parakan.  Setelah makan siang di Rumah Makan Bu Carik (lagi ?), lanjut ke arah Kedu, Kandangan, Kaloran, Sumowono, dan mampir di Bandungan untuk beli komoditas favorit, yaitu buah alpokat dan cemilan gethuk clothot.  Melewati Ambarawa, Banyubiru, Muncul, jelajah selesai begitu masuk hometown Salatiga.  Sorry, untuk etape akhir ini tidak ada fotonya, soalnya memang perlu konsentrasi menggeber si Vegie di jalan-jalan yang mulus tapi naik-turun berbelok-belok.  Jadi tidak sempat merekam tempat-tempat singgah di sepanjang lintasan.