Monday, September 20, 2010

ASLI SALATIGA

Ini gagasanku--mungkin mengarah ke visiku-- untuk menampilkan dan secara sistematis memproduksi outfit yang dapat dikatakan spesial, yang (kalau bisa) menjadi salah satu ikon Salatiga, kota kebanggaan (yang sekarang semakin semrawut saja). Sandang spesial itu punya trademark semacam ini:

Tentu akan ada yang tergelitik bertanya,"Kok ihiiir, maksudnya apa?". Begini, sejauh yang aku tahu (walau bisa saja aku keliru) ungkapan "ihiiir" yang bermakna asyik, horeee, cihuiii... adalah ungkapan yang muncul di kalangan anak Salatiga. Misalnya, suatu ketika si Surti kepergok jalan bareng si Tejo. Teman-teman mereka spontan nyeletuk "Ihiiir.....". Jadi menurutku, "Ihiiir" adalah ungkapan asli Salatiga. Inilah yang melatarbelakangi pilihan identitas produk yang aku tampilkan dalam wujud kaos oblong berlukis (painted T-shirt).

Diharapkan memang, produk kaos berlukis yang dinyatakan sebagai Kaoz Loe Kiss ihiiir [Asli Salatiga] kelak dikenal di kawasan lain sederajat dengan Dagadu Djokdja, Joger Bali, C59 Bandung, dll. Ini memang berangkat dari angan-angan di siang bolong, tapi apakah itu sama sekali mustahil? Aku melihat masih ada harapan, dan aku sedang berjalan (pelan) ke arah itu...
Amin.

Friday, August 20, 2010

LUKIS KAOS Lagi....


Setelah satu taon mengotak-ngatik acara lukis kaos, ternyata hasilnya lung may yan. Ini baru aku lakukan sebage 'biznic zombie land" (urusan sampingan), belum jadi proyek serius yang padat modal dan padat gizi. Contoh garapan kaoz loe kiss seperti ini nee.....

Nah, setelah dipublikasi di sekitar kerabat dan sohib, mulai ada yang terpincut bin tergiur mbeli satu dua kaoz. Trus tetangganya yang sudah beli sempat melihat, ee... ada yang ketularan berminat beli, jadilah pemasaran merembet-merembet. Dikit-dikit ada konsumen, ada konsumen sedikit-sedikit... yaa ta apa lah. Namanya juga baru usaha jalan pelan-pelan. Memang aku belum brambisi memperluas dan memperdahsyat pasar (supaya terjadi hujan duwit), soalnya aku punya prinsip: biznic tidak kudu mesti memaksimalkan uang masuk, tapi yang jelas harus menyenangkan, membahagiakan, memuaskan ...(kalo bisa melenakan) orang lain. Kalo orang suka hasil karyaku, itu jadi kesejahteraan luar biasa bagiku.

Produk macem bagini memang dijual. Tapi aku tidak pake jurus jaim bin juma (jual mahal). Ono rembug ya dirembug (ada usul/ wacana temtu bisa dimusiyawarahkan), mangsudnya beginu. Kalo tak selera dengan satu model gambar, ya pake model gambar lain bisa diatur, yang penting suka sama suka, mau sama mau...... (bukan iklan selingkuh lho ini).

Tuesday, May 25, 2010

Pindah Tugas

Dalam hidup yang sepertinya jalan bercepat, eh...berjalan cepat ini, aku sudah beberapa kali pindah tugas, dari lembaga swasta ke swasta, dari swasta ke kantor negeri, dari instansi negeri ke swasta lagi, nah sekarang di organisasi negeri lagi. Dari soal status pekerja, aku pernah jadi pekerja swasta, pernah ditawari jadi pegawai negeri pusat (tapi ogah), pernah buka usaha kecil-kecilan sendiri, eh.. akhirnya jadi PNS lokal juga. Kalau riwayat kerjaku berwarna-warni, itulah takdir.

Dari semua pekerjaan yang pernah aku lakukan, aku berusaha menghayati kebaikan dari semuanya. Artinya, baik bekerja sendiri, di lembaga swasta atau di organisasi negeri, aku melihat bahwa semuanya memiliki kebaikan, tidak ada satu yang (absolutely) lebih baik dari yang lain di segala hal. Menjadi seorang pekerja swasta, bukan bermakna hidup lebih buruk ketimbang PNS. Menjadi PNS, bukan pasti hidup lebih mulia dari seorang yang berwirausaha. Semuanya baik, sejauh pekerjaan itu membawa kemanfaatan dan kesejahteraan bagi sebanyak mungkin orang, bagi tanah tempat kita hidup, dan bagi generasi mendatang, itu prinsipku. Pekerjaan yang berderajat mulia adalah pekerjaan yang memuliakan kehidupan manusia dan alam/ lingkungan kehidupan itu sendiri. Aku tidak memandang status PNS sebagai predikat kerja paling mulia dan terbaik bagi seseorang, kalau itu hanya menguntungkan diri sendiri dan gerombolannya. Apalagi jika seseorang dapat mencapai status PNS karena kedekatan personal dengan penguasa, karena menyuap, atau karena upaya culas lainnya, bagiku orang semacam itu hanya sekelas benalu.

Masa kecil dan muda yang bernuansa hidup sederhana (dekat-dekat dengan status miskin malahan), memunculkan nilai-nilai/values yang sampai hari ini aku percayai, yaitu: kejujuran, kesederhanaan, kerja keras. 3 core values itu yang selalu aku ingat dan kuusahakan untuk dapat mengejawantah dalam pekerjaanku. Aku katakan "aku ingat dan kuusahakan", bukan berarti itu klaim bahwa aku orang yang (selalu) jujur, sederhana dan bekerja keras. Those core values are things I believe and hold dear, begitulah, nilai-nilai yang kuyakini dan kupegang dalam bekerja, apapun pekerjaannya. Prinsip kerja lain yang kupercayai adalah fungsi ketimbang status. Apalah artinya status yang bergengsi kalau fungsinya kerdil?

Karena bukan status (bergengsi) yang aku kejar, menjadi PNS bagiku bukan suatu tujuan. Menjadi PNS menurutku lebih menjadi 'lantaran' atau jalan mencapai tujuan. Ada orang memburu status dan menjadikan PNS sebagai tujuan bekerja. Apa yang kemudian muncul setelah ia berhasil menjadi PNS? Mungkin berarti bahwa ia telah mencapai tujuan. Karena telah mencapai tujuan, maka ia tak perlu lagi berlari, tak perlu lagi berjuang keras, tak perlu lagi berprihatin-ria. Ia toh "sudah sampai di tempat", jadi...santai sajalah, asyoi geboi. Hidup dan bekerja 'datar-datar saja' sambil menunggu masa pensiun yang kelak masih saja dibayar negara, begitu anggapannya. Aku hanya berusaha tidak memiliki anggapan semacam itu. Bukan berarti anggapan itu salah dan tercela, karena ada benarnya juga menurut kenyataan (sampai hari ini). Tetapi aku melihat ada bahayanya juga kalau kebanyakan orang beranggapan bahwa the ultimate job is PNS, karena itu akan menggiring orang ke "alam feodalisme" lagi. Di samping itu, jaman terus berubah. Aku percaya bahwa sekarang ini usaha produktif lebih strategis ketimbang kerja yang sifatnya reseptif. Negara yang 4% saja penduduknya berwirausaha, bakal menjadi negara yang stabil dan makmur ekonominya (itulah mengapa Amrik Srikat yang 11% penduduknya business people, ekonominya tak tergoyahkan). Bayangkan kalau mayoritas pekerja di negeri ini adalah PNS, atau mayoritas orang berorientasi kerja sebagai PNS, maka....beraaaat tanggungan negara! Bahkan ada wacana (yang ini aku percaya kelak terwujud) bahwa suatu saat nanti negara tidak mampu lagi menggaji para mantan PNS, dan rejim penggajian pensiunan PNS akan diganti aturan pesangon ketika PNS berhenti kerja/ pensiun. Itulah mengapa aku bersikap menjadikan status PNS sebagai jalan menuju produktifitas, bukan PNS sebagai tujuan.

Antara takdir dan keinginan/ tujuan, kadang-kadang ada jeda yang membuat keduanya tak langsung bertemu. Begitu pula dalam riwayatku, kalau aku bersekolah di fakultas keguruan, itu adalah takdir. Itu sudah terjadi dan tak perlu lagi dipermasalahkan (apalagi kalau sampai menyalahkan orang tua atau menyesalinya, tidak lah yaoow). Takdirku bersekolah di fakultas keguruan memang bukan tujuan utamaku. Sekali lagi, memang keterbatasan ekonomi keluarga membuat aku ada di situ. Sehingga, aku belajar bahasa Inggris di fakultas keguruan bukan karena aku ingin menjadi guru, tetapi aku bertekad menguasai bahasa Inggris sebagai alat untuk kerja hidupku. Dan ketika aku direkrut sebagai CPNS melalui formasi guru, itu pasti karena memang dasar persyaratannya (salah satu) adalah ijazah yang aku punya memang berasal dari fakultas keguruan. Apakah aku tidak punya hak untuk memilih kerja hidup selain yang didasarkan pada ijazah keguruan itu?

Aku bukan tidak dapat berperan sebagai guru, atau tidak memiliki kompetensi untuk bertugas sebagai guru. Masalahnya adalah, aku tidak berkeinginan menjadi PNS guru. Aku bisa berperan (dan berpura-pura) menyelesaikan tugas sebagai guru, tetapi pada saat yang sama batinku tidak sepenuhnya menikmati peran itu. Kalau aku hanya menerima peran yang diperintahkan/ ditugaskan, pasrah dan menekan perasaan dan keinginan untuk lebih berfungsi di area lain, itukah kesejahteraan? Kalau badanku di sini tetapi batinku di sana, itukah kesejahteraan? Kalau aku harus berperan sebagai operator kurikulum yang aku sendiri tidak yakin sampai tujuan akhirnya, itukah kesejahteraan?

Aku berharap bahwa permohonan pindah tugas selain peran sebagai guru itu direspon baik, bukan hanya bagiku tetapi demi kebaikan semuanya. Aku ingin mengembangkan fungsi dan kinerjaku, itu lebih penting dari pada sekedar statusku. Aku percaya ada satu tempat di luar sana, yang dapat menerimaku dan memungkinkan berkembangnya fungsi dan kinerja itu.