Sunday, October 19, 2014

SENDIRI KE PUNCAK G. TELOMOYO



Naik, naik ke puncak gunung

Tinggi, tinggi sekali….



Ingat lagu jaman TK atau SD itu, aku jadi ingat aksi iseng naik ke gunung-gunung di sekitar Salatiga.  Seingatku, terakhir kali bertengger di puncak gunung bersama teman-teman kampus ya… sekitar 27 tahun yang lalu.  Ada rasa kangen (tapi sama sekali bukan ke Kangen Band) untuk nengok gunung lagi, ketika memandang pucuk Merbabu, Telomoyo, Ungaran, Sumbing, Sindoro.  Tapi sekarang mana sempat?  Atau mana kuat (ha haa..).


Sekali waktu hasrat keisengan itu menemukan moment yang pas.  Hari ke-4 dari liburan Lebaran 2014 aku lagi idle.  Sementara banyak rombongan keluarga mengimplementasikan proyek Lebaran dengan kegiatan berkunjung ke kerabat, mudik ndeso, atau berduyun-duyun, berkerumun, bertubi-tubi ke bonbin, pantai, taman rekreasi atau pusat piknik lain, aku punya ide beda.  Aku menggagas napak tilas ke puncak Gunung Telomoyo sendirian.  Tapi kali ini aku tak berniat jalan kaki seperti pasukan infantri.  Aku naik motor saja, namanya si Vegie.  Bukan karena tak kuat jalan, tapi demi kecepatan mobilitas (nggaya kali, ha haa…).

Pagi jam 6:30, aku meluncurkan Vegie ke arah Getasan.  Sampai di pertigaan letter Y di Salaran, aku ambil jalur ke kanan.  Dari jalur Salaran – Pandean itu, Telomoyo tampak sangat jelas-gamblang-cethar membahana.  Sengaja aku melaju di pagi hari dengan pertimbangan: (1) Cuaca masih jernih dan cerah, so pemandangannya lebih bagus.  Kalau sudah siang, lereng dan puncak gunung sering tertutup kabut, walau di musim kemarau.  (2) Penjaga pos karcis di Dukuh Dalangan (pangkal jalan naik ke Telomoyo) belum menampakkan sosoknya.  Jadi aku lewat dengan gratis ha haa… 
si Vegi siap nanjak ke Telomoyo

Lolos dari Dukuh Dalangan jalan mulai menanjak.  Aku kira aspalnya masih semanis dulu, ternyata itu cuma di bagian bawah.  Makin menanjak ke atas, makin hancur lebur tiada ampun.
Tampilan G. Merbabu

Berhenti sebentar di tepi tanjakan moderat, mengintip Gunung Merbabu  dulu lah. 


Di setengah perjalanan, berhenti lagi untuk menengok kejauhan.  Di antara pohon-pohon pinus yang tidak lagi gondrong, tampak si gunung kembar Sumbing dan Sindoro.

G.Andong
Menjelang sampai puncak Telomoyo, tampak Andong si gunung tetangga sebelah yang lebih kecil.

Gunung Merbabu tampil lagi di sini, terekam ketika si Vegie rehat sebentar setelah melintas tanjakan + tikungan ekstrim tajam menjelang sampai puncak.  “Penderitaan” si Vegie bertambah dengan kondisi jalan yang babak belur dan longsor di satu bagian lereng Telomoyo. 
Puncak Telomoyo penuh tower

Sampailah aku di pucuk Gunung Telomoyo, yang banyak ditumbuhi tower pemancar/ relay/ BTR atau apapun nama teknisnya.  Dulu hanya Telkom dan PLN yang menanam tower di sini.  Belakangan Perhutani, Telkomsel, TA Tv dan Pemprov  Jateng ikut nimbrung memasang stasiun relay pemancar.


Setelah memarkir Vegie di ujung jalan aspal dekat pagar instalasi Telkom, aku memantau pemandangan sekeliling. 

Tampak di bawah sana; bukit-bukit hijau, desa-desa yang damai berlatar belakang awan putih membentang di atas wilayah Kecamatan Grabag.

Desa Pagergedok dari puncak Telomoyo
Desa Pagergedok tampaknya adalah desa yang letaknya tertinggi di lereng Gunung Telomoyo.

Puncak G. Sumbing & Sindoro di kejauhan
Puncak Gunung Sumbing dan Sindoro dengan lereng yang diselimuti kabut dan latar depan deretan awan putih.  Serasa negeri di atas awan…

Rawapening di latar belakang berkabut, tampak sayup-sayup (dan mendayu-ndayu…ha haa..)

Siap take off dari sini?
Dari geladak tempat peluncuran gantole, pemandangan perbukitan, jurang dan lembah di bawah sana memang lumayan spektakuler, menantang nyali sekaligus bernuansa misteri, hiii……

Sudah puas duduk sendirian sambil memandang panorama khidmat di sekeliling Gunung Telomoyo, aku menggelindingkan Vegie menuruni jalan aspal super amburadul kembali ke arah Dalangan. Ya memang jalannya cuma satu itu.  Sempat berhenti sebentar di dekat lereng berbatu yang sering dipakai nongkrong rombongan pengunjung Telomoyo.  Sayang, adegan lereng berbatu itu lagi kering.  Kalau musim hujan, biasanya ada aliran air menimpa bebatuan dan mencipta tampilan air terjun kecil di situ. 
Nostalgia di Telomoyo
Begitulah cerita hari itu, tentang sesaat napak tilas (atau bernostalgia) sendiri ke puncak Gunung Telomoyo.  Masih seperti dulu, pemandangan dan atmosfir sejuknya tetap terasa damai di hati.  Yang berubah dan membuat trenyuh adalah: (1) Jalan aspal yang makin hancur tak terawatt. (2) Hutan pinus yang tampaknya makin pitak, tidak lagi segondrong seperti dulu. (3) Sampah plastik non-degradable yang dibuang sembarangan oleh gerombolan pengunjung yang badannya sok modern tapi pikirannya masih primitif.

2 comments:

Darwisyahani said...

Gunung Telomoyo juga sering banget buat gantolle yaa?? aduh kapan ya bisa nyoba olahraga ekstrim kaya gitu

OYEE-IHIIIR said...

Iya tuu masih sering dipake nggantoll, kelihatannya hampir tiap tahun ada acara nggantol atau paralayang di situ...