Hari ini, Bahasa Indonesia orang negeri sering terungkap belang bonteng
dengan cita rasa yang kurang pas terdengarnya (atau terbacanya?). Ini bukan saja menyangkut ragam baku atau
tidak baku, formal atau non-formal, tetapi juga masalah diksi serta struktur
bahasa yang kurang mendapat atensi penuturnya.
Padahal penggunaan bahasa bukan melulu berkutat sekitar kefasihan dan
artikulasi ujaran yang powerful “berkoar”, tetapi juga butuh ketepatan yang
serba pas; pas ragamnya, pas diksinya, pas strukturnya, pas konteksnya, pas
atmosfirnya.
Fragmen ini menyoroti sedikit contoh aktual ujaran yang tidak pas dalam
berbahasa persatuan menurut Sumpah Pemuda (yeleeeh..). Pembahasan di sini memfokus pada tiga kata
kunci; “kita”, “cuman”, “temen-temen”. Bukan
berarti tidak ada kasus ujaran bermasalah selain yang berhubungan dengan ketiga
kata kunci tersebut. Ada banyak
sebenarnya, namun paparan kali ini mengambil tiga kata kunci sebagai
representasi kasus serupa. Selain itu,
fokus diperlukan agar “pergunjingan” ini tidak melebar ke mana-mana.
Kita
Kata ganti “kita” ditampilkan untuk menyatakan bahwa penutur dan lawan
bicara (atau pembaca teks tulis) terlibat dalam satu diskursus. Itu fungsi “kita” sebenarnya. Tetapi sekarang makin sering terjadi keadaan
begini; orang mengatakan “kita” yang konteksnya adalah si penutur mewakili
lembaga atau sekelompok orang lain, sedangkan lawan bicara/ pemirsa/ pendengar/
pembaca tidak termasuk di dalamnya. Ini
tidak tepat karena seharusnya orang tersebut menggunakan kata “kami”.
Dalam Bahasa Inggris, kata ganti “we” memang memiliki padan kata “kita”
atau “kami” dalam Bahasa Indonesia.
Tetapi dalam Bahasa Indonesia, “kita” dan “kami” memiliki makna yang
berbeda (walau beti, beda tipis). Dan
hal ini semestinya sudah dipelajari di kelas Bahasa Indonesia bahkan sejak di
SD. Tiap orang yang sudah “makan
sekolah” pasti sudah diberi pemahaman soal cara pakai “kita” dan “kami”. Cara mudah memahami kata ganti “kita” dan
“kami” adalah begini: Kita = aku + kamu (+ dia/ mereka, bila perlu). Kami = aku + dia/ mereka (>< kamu tidak
termasuk di dalamnya).
Cuman
Beberapa orang sering mengucapkan “cuman”, ketimbang kata “cuma” dalam
forum rapat dinas atau kegiatan resmi lainnya.
Kata “cuman” dan “cuma” bermakna sama dan bersinonim dengan
“hanya”. Bedanya, “cuman” adalah “cuma”
dalam dialek Betawi. Selain itu, “cuman”
termasuk ujaran tidak baku, sedangkan yang baku adaah “cuma”. Mungkin karena banyak hal yang berasal dari
Jakarta menjadi model bagi daerah lain di Indonesia, termasuk dalam hal tindak
tutur, maka penggunaan diksi dalam berbahasa Indonesia pun terpengaruh. Ini terutama tampak dalam ujaran lisan. Semoga “kontaminasi” ini hanya terjadi dalam
berbahasa lisan. Bila “cuman” itu juga
banyak muncul dalam teks tulis formal, maka degradasi berbahasa nasional dapat
dikatakan sampai pada stadium parah.
Semoga tidak demikian.
Temen-Temen
Ketimbang menggunakan kata “teman-teman” atau “para sejawat”, beberapa
orang bahkan lebih sering mengucapkan “temen-temen” dalam situasi formal
seperti rapat misalnya. Sekali lagi ini
berhubungan dengan ragam bahasa baku atau tidak baku. Kalau mengacu pada ujaran baku, seharusnya
orang mengucapkan “teman-teman” dalam situasi formal. Yang terjadi sekarang adalah kerancuan
penggunakan kata yang tidak membedakan ragam baku dan tidak baku.
Kok gitu sih?
Akurasi penggunaan diksi dalam tindak tutur dan tulis dipengaruhi oleh
beberapa hal. Pertama, bagaimana akuisisi bahasa yang sudah terjadi sejak
seseorang masih di usia awal. Dalam hal
ini, penguasaan bahasa yang baik (dimulai dari bahasa ibu) akan menunjang
penguasaan bahasa lain selanjutnya.
Bahkan proses belajar bahasa asing pun akan lebih teratur dan mudah bila penguasaan bahasa pertama
(bahasa ibu) dan bahasa kedua (bahasa nasional) terjadi dengan baik dan
benar. Masalah berbahasa sehari-hari di
banyak keluarga di Indonesia sekarang adalah makin menyusutnya penggunaan
bahasa ibu (bahasa daerah) sementara penggunaan bahasa nasional dilakukan
dengan setengah matang alias mengkal.
Yang terjadi kemudian adalah praksis berbahasa belang bonteng dan campur
aduk.
Kedua, bagaimana tingkat literasi seseorang mempengaruhi penggunaan bahasa
dalam berkomunikasi dan untuk mengungkapkan gagasan. Kemampuan berbahasa yang baik secara lisan
dan tulis sangat dipengaruhi oleh kuantitas, kualitas dan ragam ujaran dan atau
teks tulis yang masuk dan “dicerna” dalam benak seseorang. Dalam konteks budaya manusia Indonesia,
tingkat melek huruf (kondisi tidak buta huruf karena kemampuan baca-tulis) belum tentu berbanding lurus dengan tingkat
literasi masyarakat. Contoh nyata yang
terjadi di tempat umum adalah seringnya terjadi pelanggaran yang tidak
disebabkan karena orang tidak dapat membaca rambu atau peringatan tertulis yang
ada. Yang terjadi adalah karena orang
gagal memahami makna rambu atau peringatan tersebut. Demikian pula dalam praksis berbahasa, ketika
sebenarnya orang sudah belajar (dalam arti sudah dapat membaca dan menulis)
tetapi gagal memahami penerapan yang benar menyangkut diksi, struktur, fungsi
ujaran dan aspek kebahasan lain.
Ketiga, bagaimana tingkat kesadaran orang untuk memilih dan menerapkan
ragam bahasa yang digunakan sesuai konteks situasi yang sesuai. Karena menyangkut tingkat kesadaran,
kisarannya mulai dari tidak sadar sampai sepenuhnya sadar. Penggunaan kata “kita” yang seharusnya “kami”
mungkin terjadi karena penutur kurang sadar makna “kita” dan “kami”. Ketika orang sering mengucapkan “cuman” dan
“temen-temen” dalam situasi formal, mungkin mereka tidak atau kurang sadar akan
ragam bahasa dan diksi yang seharusnya digunakan. Tingkat kesadaran berbahasa tersebut dapat
dinaikkan derajatnya dengan dua alternatif cara. Pertama, dengan kemauan dan usaha sendiri
orang belajar dari sumber teks (baik lisan maupun tulis) dan menerapkannya
dalam komunikasi nyata. Kedua, ada
intervensi dari orang lain atau lembaga yang menggugah kesadaran penutur untuk
“kembali ke rel yang benar” dalam berbahasa yang baik dan benar.
Jadi, mau berucap “kita” atau “kami”, “cuman” atau “cuma”, “temen-temen”
atau “teman-teman”? Itu bergantung pada bagaimana orang belajar berbahasa sejak
awal, derajat literasi bahasa dan seberapa sadar akan makna dan ragam bahasa.