Si anak semata wayang lolos
SBMPTN. Dia diterima jadi murid
Pertanian UGM. Alhamdulillah, puji Tuhan
untuk doa yang terkabul. Selain ikut
nimbrung menyiapkan ubo rampe persiapan sekolah kampus (melengkapi syarat
administrasi, membayar UKT, mencari rumah kos), ada satu urusan yang perlu
digenapi: menggelar aksi jalan kaki dari UGM Bulaksumur sampai Masjid Mataram
di Kotagede sebagai bentuk nadzar pribadi atas suksesnya si anak semata wayang. Dan dari sinilah cerita perjalanan kaki ini
berawal.
Sabtu di awal September yang puncak kemarau, awak bersiap di lapangan
depan Gedung GSP, ikon mentereng sekolah UGM.
Jam 9.30, pagi yang sangat cerah dan hangat (atau malah agak silau dan
panas) sebenarnya waktu yang agak telat untuk mengawali aksi jalan kaki itu. Rencana aslinya adalah meluncur sekitar jam 8
sebelum udara menghangat dan menyilau. Walau
meleset start time, karena sudah diniati ya oke sajalah pokoknya acara
terlaksana.
Sendirian, awak memulai
langkah dari latar depan Gedung GSP ke arah gerbang utama. Dari Bunderan UGM, belok kiri sampai SPBU
kemudian awak menyeberang ke arah selatan.
Setelah menyeberang Jalan Sudirman, terus lanjut melewati UKDW sampai ke
pinggir stasiun Lempuyangan (bawah jalan layang). Berhenti sebentar sambil nonton kereta
lewat. Jalan lagi lurus ke selatan
sampai Jalan Sultan Agung, belok kiri ke arah timur sekitar 300 meter, awak
menyeberang ke kanan dan masuk Jalan Batikan.
Jl Batikan..sepi pejalan |
Ternyata Jalan Batikan secara original adalah jalan kecil bersebelahan
selokan besar. Di atas sepanjang selokan
itu kemudian dibangun jalan baru sehingga lebih lebar. Ini dia track lurus paling panjang selama
aksi jalan kaki sendirian di siang yang terik. Kurang lebih 2 kilometer di
Jalan Batikan, hanya segelintir pejalan kaki yang awak temui. Mungkin terlihat aneh jadinya, berjalan
sendirian di situ.
Sehabis Jalan Batikan,
beloklah awak ke kiri di Jalan Sugiyono dan terus sampai XT Square. Setelah menyeberang di bangjo XT, lanjut ke
Jalan Pramuka sampai Jalan Gambiran (atau Jalan Imogiri ya?). Berikutnya lewat Jalan Tegalgendu yang ngetop
dengan Sekar Kedaton Resto yang sungguh gede dan klasik.
Setelah
menyeberang jembatan yang tiang-tiang lampunya klasik, tampillah Jalan
Mondorokan yang sungguh kondang dengan bangunan-bangunan kawak era kolonial
misalnya seperti rumah kuno (tapi bukan purba) yang wajahnya sering tampil di
Google image.
Kuno tapi kondang .. |
Tepat saat adzan Dzuhur
sampailah awak di pojok Pasar Kotagede yang berikon gardu listrik zaman Belanda
bercokol ria di tanah Mataram. Gerak
kaki lebih santai karena target sudah dekat, dan 3 menit kemudian sampailah
awak di Masjid Mataram. Perjalanan
nadzar berjarak sekitar 9 kilometer selesai ditempuh selama 2 ½ jam.
Saat itu masjidnya sedang
dipugar sehingga pengunjung dan pelaku ibadah hanya bisa mendarat di serambi
depan. Walau bagian inti masjid
dibongkar total dengan atap terbuka menganga, rasa khidmat dan sakral tetap
terasa ketika orang berteduh di serambinya.
Ini teplok kawak, tapi sudah dimodif lampunya |
Setelah bersembahyang,
berdoa dan bersyukur untuk kabul hajatnya, awak beranjak untuk persiapan
cabut-balik. Secara iseng awak bertanya
seorang penjual pecel/ snack goreng di depan Masjid Mataram, mengapa warung es
Sido Semi yang melegenda dengan bakso dan es kacang ijo jadul tiada tara itu
tutup terus (bukan cuma di hari Selasa sesuai slogannya “Yen Selo So’ tutup”). Ternyata, warung kawak itu memang tutup
permanen, tepatnya bubar jalan karena konflik keluarga. Sungguh sayang bin sayang, warung lawas yang
ngetopnya sampai masuk laman wisata Jogja, dan sudah diulas segenap
bloggerwan-bloggerwati dengan penuh antusias itu harus masuk garis finish
dengan tragis. Dan yang membuat awak
menyesal adalah karena belum kesampaian hasrat menyeruput limun sarsaparilla
dan mengakuisisi botolnya yang antik tak terkira, yang cuma ada di warung itu.
Tapi berikutnya ibu penjual
pecel membawa info penghiburan, bahwa pascakonflik keluarga Sido Semi, seorang
anggota keluarga meneruskan produksi dan penjualan bakso kupat berhias tomat
(resep original Sido Semi) di dekat Masjid Perak Kotagede. Masjid yang bangunannya klasik pula itu terletak
di sebelah SMK Muhammadiyah 4. Setelah
mengucap matur nuwun, awak melanjut jalan.
Ini bakso kelanjutan dari riwayat Ys Sido Semi |
Rasa penasaran muncul
kembali untuk memburu si bakso kupat. Ternyata
memang tidak sulit menemukan lapak bakso dan es kacang ijo itu, karena
pangkalannya di sebelah Masjid Perak memang the one and only, satu-satunya di
pelataran situ. Semangkok bakso kupat
dengan irisan tomat awak habisi dengan khidmat wal nikmat. Sempat ditawari untuk mencoba es kacang ijo,
awak berucap lain kali saja (awak akan kembali menyambangi kuliner kerakyatan
ini).
K i p o ?? (Iki opo) |
Kembali lewat Jalan
Mondorakan, awak sempatkan beli kudapan khas Kotagede yaitu kipo. Snack lokal ini dibuat dari adonan tepung
ketan berisi parutan kelapa yang merjer dengan gula jawa. Kipo berasal dari pertanyaan “Iki opo?”. Mungkin, pada awalnya dulu spesies makanan
ini hanya hasil keisengan kreatornya yang kemudian dijual di pasar dan mendapat
atensi dari orang-orang sekitar.
Dari Mondorakan, perjalanan
berlanjut tanpa jalan kaki lagi. Bus
TransJogja membawa awak ke arah Stasiun Tugu (transit di Terminal Giwangan dan
Jalan Sudirman). Sambil menunggu kemunculan
kereta Prameks tujuan Solo, awak bersantai di ujung utara Jalan Malioboro.
Spot ini jadi arena foto diri gerombolan
pengunjung, terutama di tiang tengah jalan dengan papan bertulis “Jl.
Malioboro”.
Di seberangnya, trotoar
lebar yang dulu longgar untuk berjalan kaki dan duduk manis di bawah pepohonan,
bahkan bisa untuk tidur-tiduran sampai tertidur benar, kini dipadati populasi
sepeda motor aneka rupa. Sederet andong
wisata tampak sedang menanti penumpang potensial. Sementara itu, satu tampilan yang juga
menyedot perhatian awak adalah sebuah toko kerajinan dan batik dengan aksesoris
muka patung kuartet punakawan.
Toko itu berjudul Pasar Seni Nadzar. Kok pas dengan acara awak hari itu. Yeah, ada-ada saja.