Minum air hujan itu Oke-doke
lho. Ini bukan cerita ngawur yang cuma
utopia fiktif belaka. Soalnya sebagian
orang beranggapan bahwa minum air hujan itu bisa berefek keropos gigi atau
bahkan keropos tulang, gara-gara air hujan yang miskin mineral tapi banyak
asam. Heh, tak benar itu. Di
sekitar lereng Merapi (Dusun Bunder, Desa Bandungan, Kecamatan Jatinom, Kabupaten
Klaten) dan di beberapa desa di Gunung Kidul DIY misalnya, kebanyakan
warganya biasa mengkonsumsi air hujan
selama bertahun-tahun. Mereka kok ya tenang-tenang saja. Sekarang ini, di beberapa kota bahkan ada
komunitas-komunitas peminum air hujan, dan para anggotanya bukan orang
sembarangan.
Minum air hujan justru lebih sehat ketimbang minum air sumur yang
terkena intrusi air payau di daerah pesisir.
Ini karena air payau (setengah air tawar-setengah air laut) kesadahannya
lebih dari normalnya air tawar. Selain
itu kandungan padatan terlarut (Total Dissolved Solids/ TDS) biasanya jauh
lebih tinggi ketimbang air tawar pada umumnya.
Sedangkan dibandingkan dengan air sumur atau air dari tuk/ umbul/ mata
air, ternyata air hujan memiliki kesadahan dan padatan terlarut jauh lebih
rendah. Derajat keasaman/ pH air hujan
pun masih termasuk netral, bukan condong ke asam. Ini kalau konteksnya adalah air hujan di
Indonesia, salah satu negeri kawasan tropis yang selalu berkelimpahan hujan.
Sejauh ini minum air hujan memang belum menjadi aksi yang ngetop,
ngetren dan ngehits di kalangan masyarakat.
Minum air hujan? Kesannya kok nelangsa, prihatin, low profile, tidak
elit, nyleneh, antimainstream, kalangan pinggiran atau membawa “spirit of
minority”. Lha air minum saja bermacam-macam dan tersedia di
mana-mana, ada yang kemasan cup, botol kecil/ tanggung/ besar/ galonan. Ada yang bermerek paten, ada yang isi ulang
lebih murah. Ada yang gratis dari sumur
sendiri, ada yang berlangganan jaringan PDAM.
Dari banyak pilihan tentang air minum, kok malah jatuh hati ke air
hujan? Tentu itu tidak belum
menjadi perhatian banyak orang. Ho hoo, masalahnya mereka belum kenal
manfaat potensial air hujan yang selalu
datang gratis melimpah ruah di sekitar kita. Hujan bahkan lebih sering dicap “trouble
maker of the year”. Buktinya antara
lain: (1) Halaman rumah/ kantor/ sekolah diplester, ditutup rapat sehingga air
hujan tidak dapat meresap ke dalam tanah, dan hanya disalurkan ke selokan. (2)
Kawasan resapan air hujan banyak yang diubah fungsinya menjadi permukiman. (3)
Kalau hujan turun, banyak orang mengeluh,”….yaaah, hujan lagi….”. (4) Curah hujan tinggi dituduh jadi
provokator banjir di beberapa daerah. Padahal
kalau mereka tahu manfaat signifikan dari air hujan, terutama yang sudah
diproses jadi air alkali, mungkin bakal ada perburuan besar-besaran terhadap
air hujan.
Perbandingan TDS Air dari
Beberapa Sumber
Ini hasil penelitian sederhana di Salatiga dan sekitarnya. Penelitian yang bersahaja ala kadarnya tapi
hasilnya nyata ini membandingkan total padatan terlarut/ TDS dari sampel air
yang diambil dari beberapa sumber; (1) air hujan yang dikumpulkan di latar
terbuka, (2) air hujan yang ditampung
dari talang, (3) air sumur di belakang rumah, (4) air ledeng PDAM, (5) air dari
tuk/ mata air Senjoyo, (6) air minum kemasan merek A***, (7) air minum RO isi
ulang.
Mengapa menonjolkan TDS? Karena
TDS dapat dianggap sebagai indikator seberapa banyak partikel padat yang terlarut
dalam air. Makin tinggi TDS berarti
makin banyak partikel (mineral, debu, tanah, serasah, bakteri, mikroba lain)
yang terlarut di air. Makin rendah TDS
berarti semakin mendekati kemurnian air.
Cara mudah mengetahui tingginya TDS dalam air minum adalah mengamati
wadah yang biasa dipakai untuk merebus air.
Kalau pada tepi bagian dalam wadah tersebut ada endapan kasar atau
lapisan kerak, biasanya TDS air tersebut cukup tinggi.
Namanya juga penelitian (sangat) sederhana, jadi tidak perlu
pernik-pernik alat ukur dalam laboratorium yang rumit njlimet. Cukup dengan mengambil sampel air yang
diwadahi cangkir plastic, TDS diukur dengan mencelupkan TDS meter ke dalam
sampel air. Hasilnya segera keluar di
layar kecilnya, dengan angka-angka terpampang sbb:
No | Origin of Samples |
TDS (mg/l)
|
1 | Air hujan dari latar terbuka |
3 s.d. 6
|
2 | Air hujan dari talang rumah |
8 s.d. 15
|
3 | Air sumur di belakang rumah |
225 s.d 280
|
4 | Air ledeng PDAM |
107 s.d. 110
|
5
|
Air dari tuk/ mata air Senjoyo
|
89 s.d 93
|
6
|
Air minum kemasan merek A***
|
112
|
7
|
Air minum RO isi ulang
|
50
|
Lha itu dia buktinya, air
hujan yang jatuh dari langit memang TDSnya paling rendah. TDS air hujan yang ditampung dari talang
rumah agak lebih tinggi, karena airnya melewati atap genting dan cekungan
talang. Sebagian partikel tanah dan debu
pasti terlarut di dalamnya. Begitu juga,
air dari tuk/ mata air Senjoyo memiliki TDS lebih tinggi karena sudah
menyelinap dan menjelajah dalam tanah sebelum muncul kembali di sendang. Kalau dilihat dengan mata telanjang, semua
sampel air yang diambil memiliki tampang yang sama, jernih tanpa warna dan bau. Semuanya jelas layak minum karena belum
melewati ambang batas 500 mg/l . Tapi
air hujan memang beda, joss gandhos.
Cara Membuat Air Minum Alkali
dari Air Hujan
Pertama, sediakan air
hujan. Menurut pengalaman, air hujan
terbaik muncul dari suasana hujan lebat - deras menderu, ditingkahi petir
menyambar dan guntur bergemuruh, angin kencang menerabas dan mendung kelabu
menghitam dahsyat. Bukannya horror
menakutkan, justru dalam keadaan hujan seperti itu muatan TDS dalam airnya
sangat minimalis. Apalagi kalau hujannya
berlangsung agak lama, waah..dijamin panen raya air hujan lho.
Menadah air hujan di halaman rumah |
Seperti sudah disebut dalam pengambilan sampel air di atas, ada dua
cara penampungan air hujan. Cara I:
dengan menggelar ember di halaman pada saat turun hujan. Hasilnya adalah air hujan dengan TDS
minimalis dan kualitas yahud. Cara II:
dengan menadah air cucuran atap lewat talang.
Hasilnya adalah air hujan yang banyak dalam waktu singkat, bahkan ketika
curah hujannya sedang-sedang saja. Tapi
TDSnya agak lebih tinggi ketimbang cara I.
Ya memang inilah yang disebut filosofi undha-undhi. Kalau dengan
cara I, kualitas airnya ideal tapi kuantitasnya agak terbatas. Kalau dengan cara II, kualitas airnya tidak
sebaik cara I tapi kuantitasnya luar biasa.
Meskipun air hujan dari talang kadang-kadang membawa debu dan serasah
dari genting dan atap, tetap saja kualitasnya bisa diandalkan karena TDSnya
masih jauh lebih rendah ketimbang air sumur (atau air dari tuk/ sendang).
Kedua, air hujan yang sudah
ditangkap kemudian ditampung dalam wadah yang tertutup supaya tidak kemasukan
debu dan serangga, terutama nyamuk.
Sebelum masuk ke wadah penampungan, sebaiknya disaring dulu ya. Pengalaman penulis; airnya disaring memakai
kasa/ screen sablon dengan ukuran kerapatan T185. Selain dengan wadah gentong atau drum tertutup,
penampungan air hujan bisa menggunakan botol air minum kemasan ukuran 600 ml
atau 1500 ml. Botol bekas pun oke, asal
dicuci bersih lebih dulu. Eh, sekarang ada yang jual botol kemasan
seukuran itu lho, keadaan kosong dan
baru (bukan bekas minuman orang).
Tampung air hujan sebanyak-banyaknya, kalau bisa juga sebagai tabungan
di musim kemarau. Sebagai tambahan,
usahakan penampungan/ celengan air hujannya jangan terkena sinar matahari
langsung, sebab bisa merangsang tumbuhnya lumut dalam wadah. Jadi usahakan meletakkan wadah penampung air
di tempat kering dan teduh/ bernaungan.
Air hujan ditampung di botol-botol plastik |
Menyimpan air hujan di tempat teduh, hindari sinar matahari langsung |
Ketiga, masukkan air hujan
ke dalam perangkat elektrolisis air.
Secara umum, perangkat ini terdiri dari dua wadah/ bejana yang
berhubungan. Ke dalam dua wadah ini
dimasukkan elektroda positif dan negatif, yang berhubungan dengan rangkaian
penyearah listrik (AC menjadi DC). Ada
model perangkat yang menggunakan stop kran pada pengubung antara dua
wadah. Ada pula model yang pipa
penghubungnya tidak menggunakan kran tetapi hanya diisi kapas penyekat
sekaligus filter antara air asam (elektroda positif) dan air basa/ alkali (elektroda
negatif). Model kedua ini disebut lebih
efektif dalam proses elektrolisis.
Alat penyetrum air dengan stop kran di pipa penghubung antara wadah air asam dan air alkali |
Penyetrum air tanpa stop kran. Model ini menggunakan kapas penyekat di antara dua wadah |
Penting untuk diperhatikan: Cara memasukkan air ke dalam
perangkat elektrolisis. Sebaiknya air
dimasukkan hanya dari wadah berkutub positif sampai penuh. Meskipun bisa saja air dimasukkan dalam dua
wadah tersebut bersamaan, menurut pengalaman: hasilnya beda! Hasil terbaik diperoleh dari memasukkan air
di wadah positif saja, dan membiarkan air menetes/ mengalir lambat ke wadah
negatif. Ketika melewati kapas penyekat,
air itu akan disaring lagi. Memang
dengan cara ini wadah kutub negatif akan lama terisinya, bahkan sampai satu jam
ketinggian airnya mungkin masih lebih rendah dari yang di wadah positif. Sabar ya, demi output terbaik memang
prosesnya lebih lama. Pokoknya ketika
ketinggian air di wadah positif berkurang, tambahkan lagi airnya. Sisakan ruang kosong selebar kira-kira 1
inci/ 2,5 cm di tepi atas kedua wadah.
Jadi jangan mengisi airnya sampai penuh.
Keempat, sambungkan
rangkaian penyearah ke colokan listrik bila ketinggian air di wadah kutub
negatif sudah melampaui pipa penghubung.
Jangan menyalakan/ menyambungkan penyearah ke colokan listrik bila: (1)
kedua wadah dalam keadaaan kosong, atau (2) kedua wadah berisi air tapi tidak
saling terhubung/ ketinggian air di bawah pipa penghubung. Soalnya rangkaian penyearahnya bisa panas dan
rusak, kalau air di kedua wadah tidak saling terhubung.
Skema dasar penyearah arus AC ke DC. |
Rangkaian penyearah arus AC ke DC. Kecil dan simpel |
Proses elektrolisis/ penyetruman air berlangsung sekitar 6 jam sampai
diperoleh air bersifat asam di wadah berkutub positif, dan air bersifat basa
atau alkali di wadah berkutub negatif. Ciri
paling mudah diamati kalau air alkali sudah “matang” dan siap dipanen adalah
ketinggian air di wadah berkutub negatif/ alkali cenderung lebih dari yang di
wadah berkutub positif/ asam. Lebih
akurat lagi kalau airnya diuji pakai pH tester atau pH meter.
Lha ini dia, air alkali yang
siap diminum langsung. Diukur dengan pH
meter, derajat alkalinya di atas 8.
Sering malah mencapai 9,5 kalau nyetrumnya lebih lama. Diukur dengan TDS meter, padatan terlarutnya
hanya 3 atau 4 mg/l (dengan kondisi air hujan yang dimasukkan hanya dari wadah
berkutub positif). Air alkali hasil
penyetruman air hujan ini rasanya tawar dan segar. Air ini bisa diminum kapan saja, bisa
langsung dari wadah penyetruman atau disimpan dulu di lemari pendingin.
Sementara yang diminum adalah air alkalinya, air asam dari wadah berkutub
positif (pH 4, TDS 70 -109 mg/l) bisa dipakai untuk mencuci luka atau
membersihkan kulit yang gatal-gatal.
Beberapa orang menggunakan air asam ini untuk mencuci muka berjerawat. It’s OK, Bro.
Nah, kalau ketinggian air di wadah penyetruman sudah menurun jauh, isi
lagi dengan cadangan air hujan yang ada.
Ingat sekali lagi, isi ulang sebelum ketinggian air di kedua wadah
berada di bawah pipa penghubung. Dan
pengisian hanya dari wadah berkutub positif/ asam. Kemudian setelah pemakaian 1 atau 2 minggu, kosongkan
wadah elektrolisis. Cabut kabel
penyearah dari colokan listrik.
Bersihkan wadah dan elektroda dengan kertas tisu. Ganti kapas penyekat yang sudah terpapar
endapan dengan kapas baru yang bersih.
Setelah itu proses pengisian dan penyetruman dimulai lagi.
Proyeksi Waktu Mendatang
Air minum makin mahal. Memang sekarang ada bermacam produk air minum
baik yang kemasan maupun isi ulang.
Distribusinya pun sampai di pelosok desa. Justru kondisi itu menegaskan adanya
komodifikasi air yang makin masif.
Artinya, dibandingkan dengan waktu lampau ketika keberadaan air minum
dominan gratis, sekarang penyediaanya dominan berbayar. Ada kecenderungan bahwa masyarakat sangat
bergantung pada pasokan air minum yang berbayar tersebut. Layanan air PDAM pun secara berkala harganya
naik sedangkan penggunanya makin banyak.
Ketersediaan air minum yang
berasal dari sumber air tanah pun makin menurun kuantitas dan mutunya. Di samping karena semakin bertambahnya
populasi manusia sebagai pengguna air, debit air di berbagai sumber air tawar
mengalami penyusutan signifikan dalam dua dasawarsa terakhir. Ini diperparah dengan semakin berkurangnya
vegetasi penyerap air utama, dan alih fungsi lahan menjadi kawasan permukiman
dan bisnis. Dengan semakin padatnya
permukiman (terutama kawasan urban), mutu air tanah bisa terdegradasi. Air sumur misalnya, mudah tercemar limbah
karena jarak yang terlalu dekat WC dan saluran air kotor lainnya.
Orang harus mendapat sumber air minum yang murah dan tersedia banyak. Air hujan menjadi alternatif (ter)baik. Karena datang langsung dari langit, air ini dijamin gratis sepanjang masa. Ketersediaannya pun berlimpah, kecuali di provinsi tertentu di Indonesia yang curah hujan per tahunnya sedikit. Dengan sarana sederhana, air hujan yang berlimpah itu dapat ditampung dan diolah menjadi air minum yang sehat. Karena tidak melewati tanah, memang air hujan miskin mineral. Tapi ini sebenarnya bukan masalah besar, karena kebutuhan mineral bagi manusia masih bisa dipenuhi dari makanan sehari-hari. Sekarang tinggal bagaimana mengubah pola pikir masyarakat; dari mengabaikan dan membuang air hujan menjadi terbiasa menampung dan memanfaatkannya demi kebaikan bersama.