Ada ragam aksi yang muncul di sekitar bulan Pasa sampai awal Sawal, yang
tidak biasa nongol di waktu lain dalam setahun.
Ini bukan soal keutamaan waktu tersebut in terms of spiritual domain,
tapi material matters yang dianggap mendompleng ketenaran dan keutamaan sekitar
Pasa dan Lebaran itu sendiri. Hal-hal
pendompleng yang menyeruak di kolom waktu itu bersifat periferal dan berwujud
aksesoris saja sebenarnya, tetapi makin sering dan ngetrend menjadi
(seolah-olah) peran utama yang mainstream.
Segmen keutamaan bulan Pasa di ranah spiritual sudah sangat banyak sekali
dibahas tuntas-tas-tas oleh para ahlinya.
Jadi karena yang nulis di sini bukan ahlinya, maka tidak dirasa perlu
ikut mengulas beyond specialty-nya secara menggebu-nggebu. Soalnya ada dua kekhawatiran: Pertama,
pembahasannya akan berpeluang jadi redundant alias berlebihan yang tidak perlu
atau malah luber tiada tanggapan berarti. Kedua, kalau yang mengulas bukan
ahlinya dan secara eksplisit tidak memiliki kompetensi, risikonya terjadi
diskursus yang ngoyoworo dan ngalor-ngidul tanpa pas wal akurat. Jadi tengsin ngisin-isini, ya toh?
Lha, pembahasan di sini menonjolkan perkara yang non-utama di sekitar bulan
Pasa sampai hari-hari awal bulan Sawal.
Artinya yang jadi lakon di sini adalah ‘no mainstream’. Label ‘tidak umum’ ini memang berpeluang
menghadirkan polemik full pro vs. kontra antara yang akur melawan yang ngeyel.
Di antara mereka terpapar beberapa oknum sebagai pihak yang netral tidak
memihak atau hanya membiarkan saja ‘kericuhan’ pendapat itu berjalan. Ramasalah, simak saja fragmen-fragmen
periferal (alias no mainstream) yang makin mencuri perhatian berikut ini.
Menghitung Hari Pasa
Lha kenapa tho, hari pasa kok
dihitung dan dikomentari, “Wah, puasanya baru dua hari..”. Atau “Pasanya sudah seminggu...”. Kalau sudah niat berpuasa, ya jalan saja
dengan tenang. Tak usah dihitung sudah
berapa hari. Kesannya kok amatiran,
kekanak-kanakan dan kurang mahir berolah rasa.
Yang dimaksud di sini adalah soal hitung-hitungan dan komentar yang diekspresikan
dan diproduksi kaum tua alias dewasa menurut usia. Ee, ternyata dewasa menurut
usia belum tentu sinkron dengan dewasa menurut kematangan jiwa ya?
Opini no-mainstream: biarkan saja hari-hari pasa beroperasi
dengan kronologinya sendiri, tak usah dihitung-hitung. Jalani saja dengan full niat dan
komitmen. Sebentar lagi juga selesai, ya
toh?
Supply Ransum demi Buka Pasa
Kalau menjelang buka pasa
ada banyak pemasok ransum (kolak, bubur, kue, dan ”obyek cokotan” lainnya) muncul di pinggir jalan, di
pertigaan, di perempatan, di depan pasar, di trotoar, tentu itu berhubungan
dengan demand makanan yang meningkat signifikan di bulan poso itu sendiri. Ironical fact? Bisa jadi, mengingat pasa itu
biasanya diasosiasikan dengan pembatasan, pengendalian, dan pengaturan tingkat
konsumsi material-badani. Mestinya (atau
idealnya) ada sedikit konsumsi yang berkurang temporer sebulan sajalah. Tapi kok malah meningkat dengan variasi yang
menyeruak semarak? Inikah “politik balas dendam” di waktu petang setelah
“penderitaan” di waktu siang?
Opini no-mainstream: Tak usah menumpuk logistik demi buka pasa
kalau memang tidak dibutuhkan benar-benar.
Siagakan ransum sewajarnya, baik jenis-jumlah-jadwal (lho kok 3J). Kalau sudah ada wedang anget dan menu
seimbang (karbohidrat-protein-lemak-vitamin-mineral) ya sudah.
Tukar Uang Kertas Baru
Kurang dua minggu sebelum
Bakdan Hari I, beramai-ramailah orang memburu uang kertas baru yang kempling
kinyis-kinyis. Duit gede ditukar pecahan
yang lebih kecil demi mendapat yang gress, kalau perlu yang serial numbernya
masih urut. Persiapan bagi-bagi angpao katanya. Dulu, adegan ini tidak menyolok benar, dan
yang terdispensed biasanya duit krincing 100an.
Tak tahu sejak kapan adegan tukar uang demi bagi-bagi uang ini bermula,
dan dari mana kebiasaan ini berawal. Sekarang
kok sepertinya (hampir) jadi kebudayaan “seronok-mencolok” di sekitar
kampung. To prove what? Ekspresi riang gembira (karena sudah lolos
dari bulan Pasa)? Wujud bersedekah ke
kalangan yunior? Atau terselip “pesan
pencitraan” biar tampak tajir-ajip-tambah generous?
Opini no-mainstream:
Perlu ditimbang rasa dan pikir, jangan sampai kebiasaan bagi-bagi uang
itu mengedukasi orang jadi berorientasi matre-hedonis dan berpaham duitisme. Jangan
sampai terjadi evolusi paradigmatik bahwa Bakdan itu identik dengan supply and
demand duit everywhere. Uang itu hanya
sebagian dari tools, bukan goals.
Suplai (Besar) Ransum Bakdan
Sekitar satu minggu sebelum
Bakda “Dhuul”, terjadi akumulasi ransum besar-besaran. Maka tampilah bermacam kue (nasta R, kasteng
L, putrisal Dju, semprong, kuki S kuning, coklat, hitam), mete-mete, permen,
kacang segala rupa, ager-ager segala rasa.
Kadang-kadang masih ditambah tampilan ransum “teknologi generasi
sebelumnya” macam stik bawang, kuping gadjah, pangsit dipuntir, cendhol tapioka
(goreng), widaran (kadang diplesetkan sebagai “telek kucing”), kripik mlinjo
(emping, Dul..), kripik pisang dibedaki gula, kripik kentang, kripik tela balad
O, kripik bentoel, kripik tempe, kripik tahu, dan diperkuat barisan produk
ketan (tape ketan, jadah, wajik, jenang, madu mongso, rengginang). The list is still unexhausted, yeaach...
Dari sektor makanan berat, menjelang
kontestasi takbiran tampilah kupat sebagai komplemen (bukan subtitusi)
nasi. Jadi ada kupat, masih juga ada
nasi. Pangan pokok ini didampingi opor
ayam, sambel goreng, telur balad O sebagai penampil utama. Bintang tamu lainnya (biasanya berkonten
lemak tinggi) macam rendang, bistik, semur, cap cay atau oseng utren telur
puyuh turut meramaikan suasana meja makan.
Pokoknya meriah abiiis...
Apakah semua tampilan itu
segera tamat diserbu kalangan domestik dan para tetamu? Situasi nyata di
lapangan berindikasi: tidak selalu begitu.
Hari pertama, komunitas peraya Bakda memang antusias menyikat main
course yang meriah itu. Tapi hari
berikutnya, segenap orang mulai merasa bosan, eneg, jenuh dan efek ikutannya adalah mereka berusaha mencari
variasi makanan lain di luar rumah.
Dess, timbunan logistik rumahan yang beraneka warna tersebut ternyata
tetap eksis berhari-hari, bahkan beberapa di antaranya sampai bergeser rasa
jadi asin, so kental, mledhok, sepo,
mblengeri karena dipanasi beberapa kali.
Ada juga yang jadi kering dan bantat, kurang mengundang rasa. Di bagian lain ada yang berubah rasa jadi
kecut layu (maksudnya basi) tanpa dapat ditolong lagi. Lha terus, yang begitu untuk apa?
Opini no-mainstream:
tampilnya makanan ringan dan berat sebagai bagian dari selebrasi Bakda
memang kultural in nature, tapi tidak
kudu gegap gempita begitu. Mengapa tidak
dirancang lebih efektif-efisien, misalnya disesuaikan dengan perkiraan jumlah
partisipan Bakdan sebagai calon penyantapnya, perkiraan berapa lama logistik
itu akan tampil, dan perkiraan tingkat respon/ minat calon penyantap terhadap
makanan yang akan ditampilkan. Ini akan
menghindari efek mubazir dari sediaan logistik yang mangkrak berhari-hari.
Isu terbaru yang perlu
dipertimbangkan adalah fenomena gangguan kesehatan pascaBakda karena konsumsi
logistik yang serba padat lemak, padat karbohidrat, padat protein, natrium dan
karbonat. Maka penyedia logistik
rumahan bisa menampilkan menu yang kaya serat, tidak over lemak/ karbohidrat/
natrium dan karbonat, misalnya lalapan, pecel, gudangan, gado-gado, tahu kupat
campur sayur yang didukung iwak kali
goreng. Memang menu semacam ini idealnya
tampil cuma sehari dan harus diganti untuk hari berikutnya, tapi justru itu
sehat. That’s the point.
Berjamaah Memacetkan Lalin
Dengan label arus mudik,
arus balik, berkunjung ke kerabat, nonton obyek wisata, atau Bakdan ria,
traffic di banyak tempat (terutama Jawa) jadi overpopulated, overoccupied,
overflowed sampai mbludag tidak sekedar macet.
Jalan yang normalnya bisa dilewati dalam waktu satu jam, seolah jadi
jauuuh sekali karena orang baru sampai di target site setelah tiga jam, yang
tiga jam jadi lima jam, yang enam jam jadi 12 jam, yang sepuluh jam jadi 30
jam. Antrian kendaraan sampai mengular berpuluh kilometer seperti tidak
putus-putus. .
Ratusan ribu (atau jutaan?)
orang (mestinya) menderita karena terjebak lengket di kemacetan traffic. Tingkat penderitaannya bervariasi; dari pegel
boyok, kaki, tangan, bokong, terus
pusing, kepanasan, dehidrasi, diare, masuk angin, tekanan darah naik, retensi
urin karena ngampet pipis, babak belur karena brompitnya crash landing di
jalan, sampai balita yang henti napas karena pengap (sufokasi tidak sengaja). Ini adegan yang terus membuncah dari tahun ke
tahun, dan segombyok besar warga itu mengulang ritual penderitaan di jalan demi
selebrasi Bakda. Tapi dengan bermacam
kemacetan, keruwetan, kemampetan dan tragedi tahunan seperti itu, kok tidak ada
akumulasi kekesalan, kecapekan, ketidakpuasan, kegusaran dan keterusikan yang
akhirnya memproduksi ekspresi final berupa rasa kapok dan solusi final untuk
mengakhiri penderitaan? Malah sepertinya
peserta alias jamaah kemacetan lalin seputar Bakda bertambah. Bukannya kapok atau terusik, kok mereka tetap
senang bermampet ria di jalanan.
Pemandangan di beberapa
jenis lahan wisata juga menampakkan keadaan overpopulasi yang berjibun. Tempat piknik air misalnya, diserbu dan dicemplungi manusia berbagai umur sampai
tampak seperti cendol dalam wedang dawet.
Bonbin, taman, situs-situs kawak macam candi atau bangunan historis lain
yang biasanya elegan berubah jadi seronok karena serbuan wisatawan Bakdan. Memang bagus demi pembangunan ekonomi dan
turisme, tapi nuansa khidmat kok berubah jadi berisik dan kumuh.
Opini non-mainstream:
Dengan kemutakhiran teknologi telekom dan TI, mestinya kemacetan-keruwetan
traffic bisa dieliminasi besar-besaran.
Konkritnya, orang bisa siaran langsung di telepon, pakai fitur video
call, chat, WA atau apa pun so bisa ketemu orang yang dijujug tanpa harus datang berpuluh atau beratus kilometer ke
tempat lain. Mudik tidak harus di musim
Bakda, toh bisa dijadwal ulang di waktu lain yang longgar. Perkara apdol atau no apdol itu masalah rasa,
bukan rasional sebab-akibat atau proses-hasil.
Tradisi sebenarnya bukan produk budaya yang statis atau haram berubah,
selama esensi kebaikannya tetap terawat.
Toh aksi saling minta dan memberi maaf, dan membangun silaturahmi
harusnya berlangsung sepanjang hayat, bukan hanya di seputar Bakda. Kumpul kerabat dan komunitas primordial juga
tidak harus hanya di musim Bakda.
Nyatanya acara reuni, temu kangen, family gathering dan yang semacam
tetap saja bisa dijadwal dan digelar di tempat dan waktu bervariasi sesuai
kesepakatan.
In Restrospect
Hakekat proses belajar
selalu mengarah pada tahap hidup yang lebih baik. Ini berlaku untuk komunitas orang in general,
di manapun dan kapanpun. Masa Pasa dan Lebaran
dengan segala pernik dan mozaik adegan, tampilan, aksi dan rasa juga menjadi
sesuatu yang dapat dipelajari demi kebaikan sekarang dan mendatang. Opini kali sekali lagi tidak memprovokasi,
mengajari, mbujuki supaya memberontak
terhadap tradisi dan kelumrahan seputar Bakda, tetapi menawarkan alternatif
yang semoga feasible dan applicable dengan tetap mempertahankan esensi
kebaikannya. Begitu lho Dul...
No comments:
Post a Comment