Pas ada moment (bukan cegatan polisi lho ini), artinya waktu yang tidak mepet tergesa-gersa, dan didukung kala cuaca terang benderang tanpa hujan badai mengancam, digelarlah perjalanan darat ke sekitar wilayah Temanggung dan Wonosobo. Persiapan ala kadar dimulai. Motor kesayangan bin andalan dengan code name si Vegie sudah diservis berkala, ganti oli plus ganti ban belakang (soalnya sudah membotak). Peta jalan dan info akomodasi sudah clear.
Di pagi yang cerah, acara dolan dimulai. Pertama lewat jalan Getasan, ke kanan lewat jalur jalan di kaki Gunung Telomoyo. Melintas Desa Keditan (bukan Kreditan), Pagergunung, Sekar Langit, sampai pada kota Kecamatan Grabag. Mampir sebentar mengisi tambahan logistik, terus lanjut lewat Pringsurat ke kanan arah Kranggan. Sampai di jembatan Kranggan, mampir dulu menengok tempat bersejarah mencekam.
Jembatan Kranggan, Temanggung |
Jembatan Kranggan sebenarnya terpampang di tempat yang asik, pas dan enak dipandang. Dilatarbelakangi Gunung Sumbing dan Sindoro, di dekat hamparan sawah, dan di bawahnya mengalir Sungai Progo. Jembatannya sendiri dirancang dan dibangun dengan konstruksi yang asik pula. Tapi jembatan ini ngetop dengan riwayat mencekam full horor. Tempat ini menjadi lokasi penjagalan para pejuang (dan orang-orang yang dianggap membantu pejuang kemerdekaan) pada tahun 1948 -1949. Konon ada 1600an orang yang dieksekusi tentara NICA Belanda, sampai air kali di bawah jembatan berwarna merah darah.
Sekarang jembatan horor itu tidak dipakai, karena sudah ada jembatan sebelah sebagai penggantinya. Jembatan lama dibiarkan mangkrak sampai bopeng berlubang. Di pinggir jembatan lama terdapat monumen untuk memperingati tragedi penjagalan para pejuang kemerdekaan.
Monumen peristiwa pembantaian pejuang |
Pas nengok ke bawah jembatan, ada rombongan turis lokal sedang menikmati naik perahu karet beregu. Mereka pakai jaket pelampung dan berhelm (mungkin supaya tidak ditilang polisi ya ?... he, he, he).
Ada yang rafting di Sungai Progo |
Makam Jenderal Bambang Sugeng |
Lanjut jalan lagi, melewati kota Temanggung ke arah Parakan. Sampai di Parakan, mampir dulu di Rumah Makan Bu Carik (dekat Pasar Parakan) yang legendaris. Tempatnya antik dengan menu yang klasik, andalannya nasi brongkos dan rames. Rumah makan ini sudah ngetop sejak Indonesia belum merdeka. Sampai terkini, pengunjung dan pengikutnya tetap berjibun ria, walau di sana sini muncul pesaing muda semacam gerai steak, geprak atau penyetan.
Setelah makan dengan khidmat dan penuh semangat, si Vegie dipacu lagi ke arah utara - barat. Sampai di Ngadirejo, lewati pasar dan di pertigaan belok kiri ke arah Liyangan. Sekitar 2 km sejak lewat pertigaan Ngadirejo, sampailah di gapura Desa Purbosari. Nama desanya saja sudah purbo (alias purba), itu menunjukkan sesuatu yang sungguh kuno secara siginifikan. Setelah lewat jalan kampung yang berlandaskan batu-batu menanjak, tampaklah Situs Liyangan yang historis.
Papan nama Situs Liyangan |
Tembok jaman purba di pinggir jalan batu |
Menurut petugas jaga di sana, bagian yang lebih besar masih terpendam dan belum diekskavasi. Dari tempat masuk Situs Liyangan, menurut Pak Petugas, terdapat banyak bangunan lain di lokasi sampai berjarak 600 meter ke atas (arah Gunung Sindoro). Seandainya semua peninggalan yang terpendam itu bisa dipaparkan, wuuaaah...ruarrbiyasssaaa..... mungkin kompleks Candi Borobudur pun kalah besarnya.
Karena sebagian besar Situs Liyangan masih teka-teki, ya sudah tunggu saja sampai pemaparannya lengkap dan tuntas. Artinya masih butuh bertahun-tahun lagi kalau ingin menonton Situs Liyangan dengan formasi paripurna. So, setelah melihat sekeliling Liyangan, langsung cabut ke tujuan berikutnya, Umbul Jumprit.
Gapura Umbul Jumprit |
Gapura Umbul Jumprit dari arah dalam |
Makam Kyai Jumpri |
Sendang Jumprit yang airnya jernih. Yang sedang berjalan itu bukan Raisa lho.. |
Monyet si warga pribumi di Umbul Jumprit. Ada yang berani ambil sandal pengunjung lho. |
Setelah cukup merasakan khidmatnya suasana Umbul Jumprit, cabut lagi Bro. Jelajah selanjutnya ke arah barat, nanjak di lereng Gunung Sindoro. Beberapa spot memang menunjukkan tanjakan nyata dan berkelok. Untung si Vegie sudah terlatih melewati rute semacam ini (sejak diajak naik ke puncak Telomoyo, lalu trip ke Candi Cetho di lereng Lawu, dan pernah melintas tanjakan antara Grabag - Ngablak).
Jalan menanjak ke arah Sindoro |
Menanjak itu sudah biasa, tenang saja Bro. |
Menjelang sore, sampailah di Agrowisata Tambi. Ini adalah perkebunan teh yang selain memproduksi teh sebagai core business, masih punya wing business alias usaha sambilan berupa penginapan dan aula/ ruang pertemuan. Tempat ini memang ngetop di kalangan pegiat outbond dan mereka yang ingin ngadem di ranah pegunungan.
Suasana jalan di depan Agrowisata Teh Tambi |
Senja tiba, saatnya istirahat. |
Si Vegie istirahat di bawah pohon |
Esok hari, sebelum sarapan ada waktu untuk jalan-jalan di sekitar Agrowisata Tambi. Pagi yang cerah (dan senyum di bibir merah, kata lagunya Chrisye, 1983), suasana masih sepi dengan backsound suara burung cucak (atau kutilang ?) yang bernyanyi di perkebunan. Dengan bersenjatakan binocular dan kamera hp yang simpel, dilaksanakan pemantauan pemandangan kebun teh yang hijau royo-royo.
Sebagian sudah terang, sebagian masih gelap |
Inilah gunanya membawa binocular, buat mengintip yang jauh-jauh |
Segarnya tampilan kebun teh yang hijau royo-royo |
Teh hangat dan pisang goreng kepel |
Monggo dinikmati, sarapan paginya |
Wolaa, ternyata hari itu ada tampilan istimewa masuk ke Agrowisata Tambi. Warga desa sekitar menggelar pawai menyambut bulan puasa. Iring-iringan pawai sampai di dekat wisma dan berhenti di taman. Begitu leading drumband berhenti, anak-anak TK (atau juga PAUD) peserta pawai langsung berhamburan ke taman bermain. Wisma yang sepi berubah jadi meriah. Ini dia penampakannya.
Drumband Banser NU |
Anak-anak langsung menyerbu taman |
Telaga Menjer yang eksotis dan menenangkan |
Setelah lepas dari Telaga Menjer, perjalanan balik siang hari itu melewati Gerung, terus ke pusat kota Wonosobo. Setelah duduk-duduk sebentar di alun-alun Wonosobo, lanjut ke arah Kledung (tepat di antara Gunung Sumbing dan Sindoro) lalu Parakan. Setelah makan siang di Rumah Makan Bu Carik (lagi ?), lanjut ke arah Kedu, Kandangan, Kaloran, Sumowono, dan mampir di Bandungan untuk beli komoditas favorit, yaitu buah alpokat dan cemilan gethuk clothot. Melewati Ambarawa, Banyubiru, Muncul, jelajah selesai begitu masuk hometown Salatiga. Sorry, untuk etape akhir ini tidak ada fotonya, soalnya memang perlu konsentrasi menggeber si Vegie di jalan-jalan yang mulus tapi naik-turun berbelok-belok. Jadi tidak sempat merekam tempat-tempat singgah di sepanjang lintasan.