Dulu
Rawa Pening punya legenda
baik yang mitos maupun mistis. Hikayat
Baruklinthing adalah mitos ngetop turun temurun yang berasosiasi dengan proses
terjadinya danau tektonik-vulkanik ini.
Sedangkan info mistis yang didiseminasi oleh generasi tua masa prebaby boomers di antaranya adalah
cerita grup wayang kulit dari luar daerah yang ditanggap manggung oleh penunggu
yang mbaurekso Rawa Pening. Orang-orang di sekitar danau tidak bisa
melihat tontonan wayang itu, hanya mendengar suara gamelan seperti ada wayang
show dari arah tengah Rowo (sebutan Rawa Pening oleh warga lokal).
Rawa Pening menawarkan
keindahan yang molek tanpa harus berias dulu.
Keindahannya memang tak terbantahkan.
Kalau dipandang dari arah jembatan Tuntang, Rawa Pening berlatar belakang
Gunung Telomoyo, Gunung Merbabu dan Gunung Ungaran. Ditambah lagi dengan perbukitan dan gunung
kecil Gajah Mungkur, serta di kejauhan tampak persawahan luas di Banyubiru dan
kerlip-kerlip kota kecamatan Ambarawa.
Sedangkan di latar depan tampak rel kereta api dari stasiun Tuntang
menyusur tepian Rowo sampai stasiun Ambarawa.
Bentang rel kereta api di tepi Rawa Pening |
Rawa Pening adalah
bendungan alami yang luas dan terbentuk dari aktivitas vulkanik purba
gunung-gunung sekitarnya. Airnya bersih
dan mengalir dengan arus yang mengalir stabil dan cukup kuat melalui Kali
Tuntang sampai jauh (Kab Purwodadi, Kab Demak sampai ke laut Jawa). Karena alirannya adekuat, di era kolonial
pemerintah Hindia Belanda membangun PLTA yang mengandalkan arus air Kali
Tuntang untuk menggerakkan generator listrik di Jelok dan Timo.
Wader |
Kotes |
Sepat |
Rawa Pening menjadi kampung
besar bagi berbagai jenis ikan lokal seperti wader, tawes (ikan mas pribumi),
kutuk (ikan gabus), kotes (semacam kutuk ukuran kecil), sepat, (seperti gurami
lebih kecil), belut, lele, garingan, mujahir, betik (mirip mujahir banyak
durinya), kece (kerang rawa), dan jenis ikan kecil-kecil tapi kroyokan seperti
kembo (cangkem ombo) dan cethul (ada
yang menyebut deduk). Di permukaan Rowo
dan udara sekitarnya, sering ditemukan capung aneka warna, burung bangau putih/
kuntul, belibis (semacam bebek liar).
Bahkan pernah terjadi, serombongan burung pelikan yang sedang migrasi
tahunan dari Australia (mungkin menuju Malaysia, Thailand atau Kamboja?) mampir
ke Rawa Pening untuk mengisi bahan bakar alias mencari ikan sebagi makanan
pokoknya.
Ini membuktikan bahwa Rawa Pening memang berlimpah sumber pangan alami. Tapi itu kondisi dulu.
Belibis |
Ini membuktikan bahwa Rawa Pening memang berlimpah sumber pangan alami. Tapi itu kondisi dulu.
Sekarang
Si Rowo ini makin lama
makin dangkal dan bagian tepinya makan banyak yang menjadi daratan. Sedimentasi, itulah jawaban terdekat. Pendangkalan terjadi karena gulma eceng
gondok yang sulit dikendalikan pertumbuhannya.
Memang pernah ada kampanye pembersihan eceng gondok yang melibatkan beberapa
lembaga, termasuk dinas pemerintah dan tentara, tapi gagal maning-gagal maning.
Bahkan ada proyek pembuatan penahan bengok
(istilah orang lokal untuk eceng gondok) berupa tongga-tonggak kayu sampai
tonggak beton, tapi kok tetap lolos juga gulma berbunga ungu itu. Nah, eceng gondok yang sangat cepat
berkembang biak itu kalau sudah jompo dan terdekomposisi akan mengendap dan
menumpuk di dasar rawa.
Ini dia eceng gondok alias bengok |
Selain eceng gondok,
penyebab pendangkalan lain adalah lumpur, serasah dan sampah dari hulu beberapa
sungai dan anak sungai yang mengalir ke Rawa Pening. Lumpur berasal terutama dari kegiatan
pertanian di bentang persawahan di barat dan selatan, serta dari makin
menipisnya vegetasi di sekitar perbukitan dan dataran bawahnya. Sampah terutama berasal dari kawasan urban di
sebelah tenggara dan selatan, termasuk dari Salatiga. Populasi urban yang makin membengkak disertai
kebiasaan bodoh membuang apapun ke selokan, saluran drainase, dan anak sungai
berakibat akumulasi aneka sampah di Rowo.
Serasah dan sampah bukan hanya mengubah air bersih menjadi kotor, tetapi
juga menyumbat dan mematikan mata air yang ada.
Rawa Pening mengalami pendangkalan |
Di samping pendangkalan,
ancaman bagi kelestarian si Rowo adalah water
depletion, tak lain wal tak bukan yaitu penyusutan (debit) air. Ini dapat diamati secara mudah dari beberapa
anak sungai yang volume dan laju aliran airnya makin berkurang dari tahun ke
tahun. Penyusutan air sangat tampak pada
musim kemarau. Bisa jadi, paceklik air
ini juga berhubungan dengan berkurangnya vegetasi yang dulu gondrong menjadi
semakin botak dan pitak di dataran yang lebih tinggi termasuk perbukitan dan
pegunungan di sekeliling Rowo.
Kasanah Rowo yang berubah
membuat keadaan biota yang memburuk.
Sekarang tidak ada lagi belibis si bebek liar. Rombongan burung pelikan tidak pernah lagi
mampir ke sana. Gerombolan ikan lokal
(wader, garingan, sepat, kece) makin susah diperoleh, menurut para nelayan
setempat. Jenis wader yang masih bisa
ditangkap kebanyakan berukuran kecil.
Kotes sudah bertahun-tahun tidak diketahui keberadaannya. Yang sekarang menjadi komoditas tangkap ya
mujahir dan saudaranya nila, serta sepupunya si lou han alias red devil. Nila dan red devil sebenarnya adalah species
invasif. Kemunculannya di Rowo akan
mengganggu keseimbangan goepolitik masyarakat ikan di sana. Jelasnya, dengan semakin membahananya
populasi nila dan red devil akan semakin mengempiskan populasi jenis-jenis ikan
pribumi yang turun temurun hidup di situ.
Ada warung nangkring di Rowo |
Akselerasi perairan menjadi
daratan (tampak terutama dari sekeliling tepian Rowo) merangsang orang untuk
merekayasa dan mengotak-atik tanah baru itu untuk beberapa bisnis. Maka beberapa tahun terakhir mulai nampak
bermunculan warung, bengkel, rumah makan berbagai ukuran, pemancingan dan arena
usaha yang lain. Bahkan pernah ada
rencana pengembangan perumahan di bekas tepian rawa di dekat jembatan
Tuntang. Area calon perumahan itu sudah
direklamasi dan ditanggul beton di sekelilingnya. Tetapi karena tidak lulus uji amdalnya
(dikhawatirkan mempercepat pendangkalan dan menambah polusi ke Rowo), proyek
perumahan itu tidak dilanjutkan dan menyisakan hamparan tanah yang kemudian
menjadi kebun. Alih fungsi lahan yang
lain adalah tepi rawa dan sungai menjadi petak-petak sawah yang digarap
penduduk setempat.
Kelak
Ini adalah proyeksi keadaan
ke depan, bila tiada langkah-langkah intervensi yang memadai untuk mengatasi
laju pendangkalan Rawa Pening. Pertama,
kawasan danau legendaris itu akan menyusut dan didominasi daratan. Aliran sungai tentu masih ada, tetapi akan
jadi minoritas di sekeliling dataran mbulak
(padang semak dan rumput) yang dominan.
Tanah luas itu akan dimanfaatkan jadi sawah atau kebun dan sebagian
menjadi kampung. Kecenderungan semacam
ini terjadi di daerah urban seperti Jakarta dan Semarang, yaitu kawasan rawa
yang dulu berfungsi sebagai penampung dan penangkap air dalam perkembangannya
berubah jadi perumahan atau bahkan lokasi industri. Maka, terjadilah perubahan topografi dari
badan air menjadi daratan. Dari danau
berevolusi jadi kampung dan sawah.
Kedua, yang lebih
menyedihkan tentu adalah hilangnya biota yang berabad-abad menghuni Rowo. Berbagai spesies ikan, kerang, udang sampai
capung, burung dan satwa lain pasti akan lenyap tinggal nama dan cerita
saja. Ini tidak hanya berkisar di Rowo
tetapi juga satwa lain yang hidupnya bergantung pada aliran sungai dari situ.
Ketiga, perubahan alam dari
badan air menjadi daratan bisa membawa adverse
effect bagi komunitas manusia yang bermukim di situ. Kasus yang akan muncul sama dengan yang
dihadapi warga di dataran rendah seperti Purwodadi dan Demak, yaitu fenomena
kekeringan akut di musim kemarau tetapi kebanjiran hebat di musim hujan. Pendangkalan besar-besaran Rawa Pening
jelasnya akan berdampak pada pertanian, produksi pangan, produksi energi
listrik, dan kehidupan sosioekonomi warga.
Nah, bencana ekologis-ekonomis
dan sosial itu dapat diantisipasi dan dimitigasi (dikurangi dampak dan
risikonya) dari hari ini. Dalam hal ini,
diperlukan upaya intervensi yang masif dan terstruktur. Secara ringkas (tentu ini butuh penjabaran
yang detil dan rumit), diperlukan upaya pengendalian gulma air terutama eceng
gondok secara tuntas berjangka panjang, bukan cuma kegiatan sporadis semacam
kerja bakti. Alternatif lain adalah
pengerukan endapan dasar supaya danau lebih dalam dan menampung lebih banyak
air. Ini seperti yang dilakukan Pemprov
DKI di Danau Sunter. Berikutnya yang
juga sangat penting adalah pengendalian serasah dan sampah, terutama sampah
domestik yang berasal dari hulu. Dan
yang paling penting adalah upaya menjaga sumber air dari mata air di perbukitan
dan pegunungan sampai ke hilir. Tentu
ini berkaitan pula dengan konservasi vegetasi dan pengaturan fungsi lahan, yang
langsung berdampak pada ketersediaan air.
Memang benar adanya, tanpa air tidak akan ada kehidupan. Lha, kalau suatu danau berubah jadi daratan,
betapa kerugian luar biasa besar bagi hidup manusianya.