Dalam keseharian hidup, seberapa sering kita membaca peringatan “Buanglah sampah di tempatnya”, “Jangan membuang sampah sembarangan” atau “Jagalah kebersihan” di tempat-tempat umum? Kalau dihitung sejak kita mulai belajar membaca sampai sekarang, pasti sudah amat sering. Begitu seringnya sampai kita hafal kapan dan di mana kita bertemu peringatan semacam itu. Tetapi sejauh mana peringatan yang sudah sangat biasa itu diikuti atau dipatuhi secara otonom dan ikhlas oleh setiap orang yang membacanya, ternyata tidak berbanding lurus. Ada himbauan tertulis untuk menempatkan sampah di wadah yang disediakan pun kadang-kadang diabaikan, apalagi bila tidak ada peringatan visual dan tidak tersedia tempat sampah di sekitarnya.
Ada pula kebiasaan sebagian orang yang berpola pikir “not on my own yard” dalam urusan membuang sampah. Mereka mengupayakan keadaan bersih sejauh menyangkut properti sendiri dan menyalurkan sampah ke manapun, tak peduli dampaknya bagi lingkungan. Ada orang-orang yang secara teratur membersihkan rumah dan halamannya sendiri, sehingga tempat tinggalnya tampak bersih dan rapi. Tetapi urusan membuang sampah, mereka hanya berpikir singkat untuk mengoper limbah rumah tangganya ke saluran air/ drainase, ke bantaran sungai, atau ke lahan kosong di sekitar tempat tinggal mereka. Di jalan raya, dari mobil mulus ber-AC yang sedang meluncur cepat, tiba-tiba jendela kacanya sedikit terbuka dan keluarlah sampah berupa kulit buah-buahan, atau kemasan biskuit, atau botol minuman, atau bahkan plastik wadah muntahan penumpang yang “mabok darat”. Selain itu, akhir-akhir ini muncul kebiasaan sebagian masyarakat urban yaitu membuang bangkai tikus ke jalan yang banyak dilalui kendaraan. Tindakan membuang bangkai tikus ini sungguh kurang beradab. Bukan saja karena menimbulkan pemandangan menjijikkan ketika bangkai tikus itu terlindas kendaraan yang lewat, tetapi juga karena membawa risiko merugikan kesehatan masyarakat (berupa timbulnya penyakit yang dibawa tikus).
Tindakan membuang sampah atau sering disebut nyampah hampir seperti gerak otonom. Pelaku nyampah sembarangan tampaknya bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu, layaknya gerak refleks yang berlangsung otomatis. Ini dapat diamati dari perilaku orang-orang ketika mereka mengonsumsi permen, misalnya. Hanya berselang kira-kira satu detik setelah memasukkan permen ke mulut, tangan yang memegang plastik bungkus permen segera melepaskan sampah kecil itu secara acak. Ke manapun plastik itu akan jatuh, penikmat permen itu tidak lagi memperhatikan. Begitu pula yang terjadi setelah mereka menikmati minuman dalam kemasan plastik (cangkir, botol atau kantong dengan sedotan). Betapa cepat tangan-tangan mereka melepaskan benda plastik yang isinya sudah habis ke tanah di sekitarnya, sepertinya tidak dibarengi dengan kecepatan orang-orang itu berpikir tentang akibat yang dapat ditimbulkan dari sampah yang berserakan. Apakah mereka tidak pernah diajari untuk menempatkan sampah di tempat yang semestinya? Pastilah pernah. Hanya ketidakpedulian yang membuat mereka seolah tidak pernah dididik untuk menangani sampah secara benar. Atau barangkali, mereka beranggapan sudah ada orang/ petugas atau pihak lain yang mengurusi kebersihan lingkungan sehingga tidak perlu lagi repot berpikir mengenai sampah.
Apakah pengalaman belajar dan kebiasaan masa lalu kita (dan para leluhur) mempengaruhi kesadaran kita mengenai sampah? Atau, apakah perilaku nyampah sebagian orang “diturunkan” dari kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung di keluarga dan lingkungan sosial mereka sejak beberapa generasi sebelumnya? Barangkali, penggunaan berbagai bahan alami di masa lalu ikut menyumbang munculnya perilaku nyampah atau kesadaran orang mengenai eksistensi sampah yang mereka hasilkan. Dulu, ketika daun pisang, daun jati, anyaman bambu, dan beberapa benda alami lain digunakan sebagai pembungkus, memang ada “jaminan dekomposisi” saat orang membuang pembungkus atau “kemasan” semacam itu bila sudah tidak digunakan lagi. Bahan-bahan alami tersebut akan terurai cepat di tanah, di pinggir jalan atau di sungai sekalipun. Sampai dengan dekade 1970an, pembungkus alami (biasanya daun) masih banyak digunakan di pasar-pasar tradisional. Sehingga orang tidak berpikir panjang dan spesifik tentang masalah yang dapat ditimbulkan dari sampah domestik. Perilaku nyampah di masyarakat tradisional saat itu belum menjadi persoalan. Perilaku yang kemudian menjadi kebiasaan tersebut sepertinya “diwariskan” ke generasi-generasi selanjutnya. Ditunjang oleh pendidikan dan budaya yang tidak mendisiplinkan orang untuk berolah pikir dan bertindak secara benar dalam hal sampah dan kebersihan lingkungan, jadilah keadaan seperti yang tampak sekarang ini- - selalu ada sampah di trotoar, di jalan, di taman, di parit, di sungai, di fasilitas umum mana pun di negeri ini.
Kemudian terjadilah perubahan zaman, ketika plastik, styro foam (gabus sintetis) dan lembaran alumunium foil banyak dipakai sebagai pembungkus atau kemasan produk kelontong. Berbagai barang, mulai dari produk makanan, minuman, toiletress, dan pernik-pernik kebutuhan rumah tangga lain seringkali dikemas dengan bahan yang sulit terdekomposisi secara alami ini. Bahkan di pasar-pasar tradisional pun pedagang lebih banyak membungkus jualannya dengan kantong plastik. Dengan pertambahan penduduk dan makin padatnya kawasan pemukiman, produksi sampah domestik pun ikut meningkat pesat. Sejauh tidak ada perubahan perilaku dan kesadaran masyarakat menyangkut penanganan sampah, maka kekumuhan dan kekotoran habitat manusia (terutama di kawasan urban) tidak terurai dan berkurang tetapi justru bertambah.
Abai terhadap sampah dan penanganan sampah yang tidak tuntas tampaknya telah menjadi habitus sebagian (besar) masyarakat kita. Ini menjadi satu penjelas tentang citra pasar tradisional misalnya, yang diidentikkan dengan kesemrawutan, kekumuhan, becek dan selalu berhiaskan (juga beraroma) sampah. Banyak pasar tradisional di Indonesia sebenarnya dirancang dan dikonstruksi dengan mempertimbangkan estetika dan sanitasi, tetapi dalam perkembangan operasionalnya, sering dijumpai bahwa lantai yang awalnya bersih menjadi berkerak karena lumpur, dinding yang belepotan, dan atap/ plafon yang penuh sawang dan debu. Di tempat lain, taman kota, alun-alun, atau trotoar yang “dihinggapi” lapak-lapak pedagang kaki lima juga lambat laun menjadi kotor, beraroma tidak sedap dan kadang kala becek karena sebagian pedagang terbiasa membuang air limbah cucian ke tanah atau jalan di sekitar tempat mereka berjualan.
Apakah bangsa kita ditakdirkan untuk hidup tetapi abai terhadap sampah? Pastilah tidak. Pengalaman negeri tetangga Singapura dalam mendisiplinkan rakyatnya, termasuk membudayakan hidup teratur dan bersih, hendaknya dapat membangkitkan kesadaran kita untuk peduli kebersihan dan kesehatan. Pemahaman dan kemauan untuk peduli kebersihan masih dan makin perlu disebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa tanpa adanya upaya sadar untuk menuntaskan sampah, sampah itu tidak akan hilang, larut atau terdekomposisi secara otomatis. Orang harusnya mengerti bahwa sampah plastik tidak akan terdekomposisi secara cepat, bahkan mungkin butuh ratusan tahun untuk sama sekali melebur plastik di tanah. Pengabaian terus menerus terhadap sampah di lingkungan hidup kita tidak hanya merugikan secara estetika tetapi juga membawa risiko penurunan kualitas kesehatan. Dalam jangka lama, ini berarti bunuh diri ekologis bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Kesadaran terhadap sanitasi yang baik dan kesehatan lingkungan perlu diprakarsai secara nyata. Nasihat dan arahan saja tidaklah cukup. Upaya menumbuhkan kesadaran ini perlu dilakukan di tingkat masyarakat terkecil, yaitu keluarga. Sejak dini, anak seusia balita sudah diajari dan selalu diajak untuk menempatkan sampah di wadah yang disediakan, untuk mencuci tangan dan membersihkan tempat bermain, serta tidak meludah sembarangan. Orang tua dalam hal ini menjadi role model/ teladan dan motivator utama bagi anak-anak mereka. Karena itu memang kesadaran dan tindakan nyata untuk hidup teratur, bersih dan sehat itu harus dimulai dari orang tua. Bila kebiasaan bersih dan tidak nyampah tersebut dapat berlangsung baik dalam lingkup keluarga, di lingkungan sekolah dan di tempat umum lainnya anak-anak akan tetap sadar kebersihan dan meneruskan kebiasaan baik tersebut.
Ada beberapa pengalaman terbaik/ best practices dari komunitas anak negeri yang dapat dijadikan model pembelajaran, contohnya upaya kebersihan toilet sekolah yang dilakukan oleh siswa-siswi sebuah SMP di Jawa Barat. Langkah awalnya hanya berfokus pada cara menjaga kebersihan toilet, namun kemudian berkembang ke upaya kebersihan kelas dan lingkungan sekitar sekolah lainnya. Tindakan nyata ini bernilai strategis, karena bermula dari sekelompok siswa kemudian berkembang menjadi gerakan yang melibatkan seluruh warga satu sekolah. Bayangkan bila kemudian kesadaran kebersihan itu mampu meluas ke seluruh siswa di satu kecamatan, kota atau kabupaten. Inilah embrio budaya bersih yang kelak akan menggerakkan satu generasi. Di satu lingkungan RT di Jakarta, para ibu rumah tangga tergerak untuk mengolah limbah organik menjadi kompos, dan sampah anorganik seperti plastik menjadi barang-barang yang berguna di rumah. Tentu ini bukan upaya yang mudah, dan butuh perjuangan terus menerus untuk membuat bangsa kita benar-benar peduli kebersihan dan kesehatan. Sehingga akhirnya, membuang sampah di tempat yang seharusnya bahkan untuk benda sekecil bungkus permen sekalipun, akan menjadi tindakan yang seperti dilakukan di bawah sadar.